Pondok Pesantren dan Sejarah Perkembangannya

Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari (Mastuhu, 1994 : 55)
1. Tujuan pendidikan pesantren, sebagaimana yang dirumuskan oleh Mastuhu (1994 : 55) adalah “menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlaq mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kaula dan abdi masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam di tengah-tengah masyarakat (’izzul islam wal Muslimin), dan mencitai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia, idealnya perkembangan keperibadian muslim, bukan sekedar muslim saja. 

2.Unsur-unsur yang ada dalam pesantren sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Muthohar (2007 : 18-35) terdiri dari dua unsur, yaitu :
a. Unsur Anorganik Pesantren, yang meliputi :
  1. Tujuan Pendidikan Pesantren
    Yaitu bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang, atau keagungan duniawi, tetapi semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Secara praktis Manfred Ziemek (1986 :157) juga merumuskan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian santri, memantapkan akhlak dan melengkapi dengan ilmu pengetahuan.
    2. Nilai Pendidikan Pesantren
    Menurut  Mastuhu, nilai yang mendasari pesantren digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak yang bersifat fiqih-sufistik dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi, dan (2) nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran relative, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan menurut hukum agama. Kedua kelompok nilai ini mempunyai hubungan vertikal dan hirarkis. Dalam kaitan ini, kyai menjadi nilai-nilai kelompok pertama, sedangkan ustadz dan menjaga nilai-nilai kelompok kedua. Hal inilah yang menyebabkan dalam sistem pendidikan pesantren sosok kyai menjadi sosok yang sangat menentukan setiap perjalanan dan aktivitas pesantren (individual interprise.)
    3. Pendekatan Pendidikan Pesantren
    Dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan sekaligus lembaga keagamaan, pesantren menggunakan pendekatan holistik. Artinya, di pesantren semua kegiatan belajar mengajar dan  aktivitas kehidupan merupakan kesatupaduan utuh dalam totalitas kehidupan sehari-hari. Bagi pesantren, pengembangan kritisme akal dan orientasi keduniaan bersifat final, sudah seharusnya dilakukan, tetapi orientasi tersebut harus dilandasi moralitas dan akhlak sebagaimana ajaran Islam.    
    4. Fungsi Pendidikan Pesantren
    Terdapat tiga fungsi pesantren, antara lain : lembaga pendidikan, lembaga sosial dan penyiaran agama. Berangkat dari ketiga fungsi tersebut, pesantren memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitar  dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Namun, fungsi sebagai lembaga pendidikan menjadi ujung tombak kehidupan pesantren.
    5. Prinsip Pendidikan Pesantren
    Berangkat dari tujuan pendidikan, pendekatan holistik dan fungsinya yang komperhensif, pesantren menurut Mastuhu mempunyai beberapa prinsip, yakni : (1) berdasarkan pada filsafat teosentris. Falsafah ini berangkat dari pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses, kembali pada kebenaran Tuhan, dan pengaruh konsef fitrah dalam Islam. Maka semua aktivitas pendidikan di pesantren dipandang sebagai ibadah. (2) suka rela, (3) kearifan, (4) kesederhanaan, (5) kolektivitas, (6) mengatur kegiatan bersama, (7) kebebasan terpimpin, (8) mandiri, (9) pengamalan ajaran-ajaran Islam, (10) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan pengabdian, (11) tanpa ijazah, (12) restu kyai.
    6. Kurikulum Pendidikan Pesantren
    Materi pelajaran pesantren kebanyakaan bersifat keagamaan yang bersumber kitab-kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi, antara lain : tauhid, tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, tasawuf, bahasa arab (nahwu, sharaf, balaghah dan tajwid), mantiq dan akhlak, dengan metode pembelajaran ; bandongan, sorogan, halaqah, dan hafalan. Namun menurut E. Shobirin menjelaskan bahwa seiring dengan perkembangannya, terutama pesantren yang ada di perkotaan sedikit demi sedikit tidak lagi mengajarkan kitab-kitab Islam klasik (Rahardjo, ed. 1985 : 117).
    b. Unsur Organik Pesantren.

    Selain unsur anorganik, pesantren juga memiliki unsure-unsur organik, atau dalam bahasa umumnya disebut pelaku atau aktor. Unsur-unsur organik ini meliputi :
    1. Kyai
    Kyai adalah tokoh karismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin dan pemilik pesantren. Otoritan kyai tidak didasarkan atas asas legalitas melainkan bersumber pada kharisma yang dimiliki. Karisma ini muncul dari konsistensi kyai dalam melaksanakan ilmu yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, keihklasan, dan dedikasi dalam mengembangkan pendidikan Islam.
    Zumarkhsyari Dhofier menilai, kebanyakan kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai “kerajaan kecil”, dimana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan di lingkungan pesantren adalah kawasan tertutup yang tidak dapat dicampuri pihak luar.
    Kekuasaan mutlak in barangkali harus demikian, sebab pesantren adalah lembaga pendidikan sekaligus berfungsi sebagai forum pembinaan kepemimpinan. Karenanya, kekuasaan harus berada di tangan satu orang agar kebijakan yang diambil tidak berbenturan satu sama lain. Akan tetapi, sistem ini tentu mengandung kelemahan dan kelebihan. (Rasyid, 1998, 313). Kekuatan dasar dari sebuah pondok pesantren adalah adanya “ketergantungan” kepada figur seseorang secara subyektif. Kalau nantinya seorang kyai itu terus sanggup menciptakan latent pattern maintenance secara dinamis supaya intitusi pondok pesantren yang ia dirikan itu dapat bertahan, berarti pondok pesantren itu tidak akan hanya hidup, bahkan akan terus berkembang dengan kapasitas seorang kyai sebagai founding father-nya, pengelola dan unsur penentu mutu output dari suatu proses belajar mengajar yang ada di pondok pesantren (Mulkahn, 1998 : 17).
    Untuk mengetahui siapa yang layak disebut kyai atau yang tidak, mestinya harus ada parameter yang jelas, supaya tidak terjebak pada penggunaan gelar pada orang yang tidak pantas digelari dengan gelar tersebut. Menurut Abuddin Nata dalam Suwito (2005 :273) bahwa kyai secara keilmuan memiliki ciri-ciri antara lain , (1) menguasai ilmu secara mendalam; (2) keilmuan yang dimiliki telah mendapat pengakuan dari masyarakat sekelilingnya; (3) menguasai kitab kuning dengan matang; (4) taat beribadah kepada Allah SWT.; (5) mempunyai kemandirian dalam bersikap; (6) tidak mau mendatangi penguasa; (7) mempunyai geneologi ke-kiai-an; (8) memperoleh ilham dari Allah. Bila memenuhi kriteria tersebut, maka layaklah seseorang disebut kiai dalam pengertian yang lazim.
    2. Santri
    Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan tolak ukur atas maju mundurnya sebuah pesantren. Semakin banyak santri, pesantren di nilai lebih maju, dan juga sebaliknya ( Dhofir, 1984 : 56). Akan tetapi tingkat pencapaian prestasi siswa dalam sistem tradisional diukur dengan totalitas siswa sebagai pribadi, perilaku dan moral. Santri baik yang mukim atau yang kalong merupakan bagian dari kehidupan pesantren.
    3. Pengurus
    Pengurus pesantren adalah beberapa warga pesantren yang berstatus bukan kyai, ustadz maupun santri. Tetapi keberadaannya sangat diperlukan untuk ikut serta mengurus dan memajukan pesantren bersama unsur-unsur pelaku lainnya. Namun umumnya mereka juga kyai, ustadz, santri senior dan alumni pesantren tersebut. Peran mereka tidak terbatas pada manajerial, pembangunan fisik, dan hal non edukatif lainnya, tetapi ikut juga memberikan pelajaran agama, membimbing para santri, dan memberikan pertimbangan keputusan kepada kyai. Dalam hal penjagaan nilai, pengurus juga dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengurus yang membantu kyai dalam menjaga kebenaran absolute dan pengurus yang membantu kyai dalam pengalaman nilai-nilai agama dengan kebenaran relatif.
    Berpijak pada pendapat Mastuhu sebelumnya, bahwa fungsi pesantren dalam perkembangannya bukan hanya berfungsi sebagai lembaga sosial, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan penyiaran agama. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi) dan pendidikan non formal yang secara khusus mengajarkan agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran ulama yang hidup antara abad VII-XIII Masehi. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membeda-bedakan tingkat sosial-ekonomi orang tuanya. Dengan biaya hidup yang relative lebih murah bila dibandingkan dengan belajar di luar pesantren, sebagai lembaga penyiaran agama, pesantren tidak hanya memberikan pelajaran agama terhadap santrinya, akan tetapi juga diberikan kepada masyarakat luas dengan sistem majlis ta’lim.
    Dari uraian tentang pesantren di atas menunjukkan bahwa pesantren termasuk dalam pendidikan Islam, bahkan sudah diangkat sebagai pendidikan asli yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dan telah masuk dalam sistem pendidikan Nasional yang terolong ke dalam pendidikan jalur luar sekolah sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

  2. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren
    Pondok pesantren menurut sejarah akar berdirinya di Indonesia, ditentukan dua versi pendapat. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. pondok pesantren mempunyai kaitan erat denga tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan bukti bahwa penyiaran  Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak di kenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai dengan terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pimpinan  tarekat ini disebut kyai. Untuk keperluan suluk ini para kyai, yang mewajibkan pengikutnya melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama-sama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan suluk ini, para kyai menyediakan ruangan khususnya untuk penginapan dan memasak yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan tarekat para pengikut itu diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan Agama Islam. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pondok pesantren.
    Kedua, pondok pesantren yang kita kenal sekarang kita pada mulanya merupakan pengambil alihannya dari sistem pondok pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini dasarkan pada bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga pondok pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pondok pesantren pada masa itu dimaksudnya bahwa pondok pesantren bukan berasal dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pondok pesantren di Negara-negara Islam lainnya . (Departemen Agama, 2001 : 10)
    Pondok pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaannya dan perkembangannya setelah abad ke-16. karya-karya klasik seperti “Serat Cabolek dan Centini” mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, tasauf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam yaitu pondok pesantren.
    Namun bagaimana asal mula terbentuknya, pondok pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan dan keagamaan Islam tertua di Indonesia, yang perkembangannya berasal dari masayarakat melingkupnya.
    Seperti yang telah diungkapkan di atas, lembaga-lembaga pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia memiliki latar belakang sejarah cukup panjang. Walaupun sulit diketahui kapan permulaan munculnya, namun banyak dugaan yang mengatakan bahwa lembaga pondok pesantren mulai berkembang tidak selama setelah masyarakat Islam terbentuk di Indonesia. Karena Islam masuk dan berkembang          di Indonesia melalui perdagangan nasional yang pusatnya adalah kota-kota pelabuhan, maka masyarakat Islam di Indonesia pada  permulaanya adalah masyarakat kota. Pembentukan masyarakat kota ini tentunya mempengaruhi pula pembentukan lembaga pendidikan yang kebetulan belum eksis. Sehingga kota-kota itu menjadi pusat-pusat studi Islam yang dikembangkan oleh para ulama yang berada di sana (Departemen Agama, 2001 : 11). Namun penjajahan kolonial Belanda menurut Nurcholis Madjid (1997 : 3) mengakibatkan pesantren-pesantren terperosok jauh ke dalam daerah pedesaan terpencil seperti sekarang ini. Seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan lanjut Nurckholis, tentu pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren. Sehingga perguruan tinggi negeri yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, UGM, UNAIR, ataupun yang lain, tetapi mungkin namanya universitas Teremas, Krapiak, tebuireng, Bangkalan dan seterusnya. Kemungkinan ini dapat kita tarik lanjut Nurckholis, setelah melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri di mana, hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan.
    Pada masa penjajahan Belanda keberadaan pondok pesantren sangat merugikan Pemerintah Kolonial, dari itulah kebijakan-kebijakan yang diterapkan banyak mungkin pondok pesantren, seperti Ordonasi Guru yang mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Demikian juga halnya dengan ordonasi sekolah liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah pun harus diberikan secara berkala. Ketidak lengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan masyarakat tertentu karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang pada saatnya itu masih belum tertata, ordonasi in dengan sendirinya mejadi faktor penghambat keberadaan pondok pesantren. (Departemen Agama, 20010 :17-18)
    Kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan terus berlanjut hingga pada masa penjajahan Jepang. Pemerintah Jepang tetap mewaspadai pendidikan yang dilakukan oleh pesantren di daerah-daerah pedesaan dan terpencil, dan madrasah-madrasah, karena dianggap memiliki potensi untuk melakukan perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia. Untuk mengamankan kepentingannya, pemerintahan Jepang banyak mengangkat kalangan priyai dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama. (Departemen Agama, 2001 : 19). Dengan berbagai macam perlakuan Pemerintah Belanda dan Jepang tersebut di atas yang menyebabkan terjadinya sikap kurang harmonis antara pesantren dan pemerintah. Keadaan ini berlanjut hingga masa kemerdekaan.
    Perkembangan pondok pesantren oleh pemerintah di mulai semenjak berdrinya Departemen Agama, 3 Januari 1946, yang diantaranya mengurusi masalah pendidikan Islam, termasuk di dalamnya pendidikan pondok pesantren. Usaha pembinaan dan upaya peningkatan pondok pesantren lebih serius dilakukan oleh pemerintah setelah terbentuknya Sub Direktorat Pembinaan Pondok Pesantren di Madrasah Diniyah (Subdit PP & MD), di bawah koordinasi Direktorat Jendral Pembinaan Perguruan Agama Islam (Ditbinrua Islam), dalam lingkaran DirektoratJendral Pembinaan Kelembagaan Islam (Ditjen Binbaga Islam), Departemen Agama. Upaya pembinaan dan pemberdayaan semakin serius digalakkan dengan adanya program kerja sama lintas sektoral antar departemen dalm institusi pemerintah. (Departemen Agama, 2001 : 21)
    Perkembangan pondok pesantren setelah adanya pembinaan dari pemerintah, mengarah kepada perpaduan antara sistem tradisional dengan sistem moderen, yaitu dengan mulai di bukanya madrasah-madrasah dan sekolah umum di pesantren, terutama setelah berlakunya SKB 3 Menteri pada tahun 1976 menegenai “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah” (Maksum, 1999 : 149) perkembangan terakhir dari pendidikan pesantren adalah dengan diintegrasikanya lembaga pendidikan ini secara formal kedalam Sistem pendidikan Nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1989. (Hasbullah, 1995 : 86)
    Menyadari akan dinamika pengembangan pesantren tersebut, yang berimplikasi kepada kaburnya batasan penegertian pondok pesantren dari keadaan semula, maka pada tahun 1979, Menteri Agama mengeluarkan peraturan No. 3 Tahun 1979 yang mengungkapkan bentuk pesantren :
    1. Pondok pesantren Tipe A, yaitu pondok pesantren di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (wetonan atau sorogan)
    2. Pondok pesantren Tipe B, yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan secara klasikal (madrasy) dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi dan diberikan pada waktu-waktu tertentu. Para santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.
    3. Pondok pesantren Tipe C, yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar  (madrasah atau sekolah umum) dan kyai hanya merupakan pengawas dan pembina mental para santri tersebut.
    4. Pondok pesantren Tipe D, yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah (Departemen Agama, 2001 : 24-25).
    Bentuk pondok pesantren seperti yang diungkapkan di atas merupakan upaya Pemerintah dalam memberikan batasan atau pemahaman yang lebih mengarah pada bentuk pondok pesantren. Walaupun demikian, perkembangan pondok pesantren tidak terbatas pada bentuk tadi, namun dapat lebih beragam banyaknya. Bahkan dari tipe yang sama pun terdapat perbedaan tertentu yang menjadikan satu sama lain tidak sama, sebagaimana terpapar dalam penelitian Soedjoko dan Prasodjo et, al., dalam Kuntowijoyo, 1991 : 251) bahwa pesantren memiliki lima pola, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju.
    Selanjutnya, fenomena terakhir dalam upaya mengakomodasikan perkembangan yang terjadi pada jenis dan bentuk pesantren, maka (Departemen Agama, 2001: 25-26) dapat dibedakan menjadi tujuh bentuk, yaitu :
    a. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab-kitab klasik (salafiyah), sebagaimana pengertian umum yang telah diungkapkan di atas. Para santri dapat diasramakan, kadangkala tidak diasramakan. Mereka tidak diasramakan tinggal di masjid dan rumah-rumah penduduk yang berada di sekitar masjid atau rumah kyai.
    b. Pondok pesantren seperti yang telah diungkapkan pada poin a namun memberi latihan tambahan keterampilan atau kegiatan para santri pada bidang-bidang tertentu dalam upaya penguasaan keterampilan individu atau kelompok. Termasuk dalam kategori ini adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan potensi umat.
    c. Pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pengajian kitab, dan namun lebih mengarah pada upaya pengembangan tarekat/sufisme, namun para santri kadang-kadang ada yang diasramakan, adakalanya pula tidak diasramakan.
    d. Pondok pesantren yang hanya menyeleggarakan kegitan keterampilan khusus agama Islam, kegaiatan keagamaan, seperti tahfidz (hafalan) al-Qur’an dan majelis taklim, seperti halnya dengan yang tersebut sebelumnya, adakalanya santri diasramakan, adakalanya tidak.
    e. Pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan klasik, namun juga menyelenggarakan pendidikan formal ke dalam lingkungan pondok pesantren, siswa pada lembaga pendidikan formal ada yang tidak tingggal di asrama bukan termasuk kategori santri (tidak ikut pengajian). Kadang-kadang ada santri yang hanya ikut pengajian saja dan tidak tinggal di asrama.
    f. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran pada orang-orang menyandang masalah sosial. Patut dicatat bahwa dalam rangka pemerataan pemenuhan hak warga Negara untuk memperoleh pengajaran yang layak, maka diupayakan adanya penyelenggaraan pondok pesantren yang memberi bentuk pengajaran khusus mereka yang memiliki cacat tubuh atau keterbelakangan mental dalam sebuah penyelenggaraan  Madrasah Luar Biasa di pondok pesantren, dan juga bagi mereka yang yatim atau anak jalanan dalam sebuah panti asuhan yang dikelola sebagai pondok pesantren.
    g. Pondok pesantren yang merupakan kombinasi dari beberapa poin atau seluruh poin yang tersebut di atas (konvergensi)
    Dari paparan di atas, nampak beberapa jenis variasi jenis pesantren, walau demikian suatu lembaga dapat dikategorikan sebagai pondok pesantren apabila komponen-komponen yang merupakan ciri pondok pesantren terdapat di dalamnya, sekurang-kurangnya terdiri dari adanya : pondok, masjid, pengajaran agama, kyai, dan santri. Dengan keberadaan seperti yang tersebut di atas, pondok pesantren telah mencirikan dirinya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang integral dan sekaligus sebagai kultur yang unik. Karena keunikannya, pondok pesantren dimasukkan ke dalam golongan subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia sebagaimana dikemukakan Abdurrahman Wahid, bahwa pendidikan pesantren memiliki dua aspek yaitu :
    Pertama, pemberian pelajaran dengan struktur, metode dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran secara tradisional ini dapat berbentuk pendidikan formal di sekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat maupun dengan sistem halaqah (lingkaran dalam wetonan atau sorogan). Kekhasan dari pengajaran tradisional adalah cara penyajian pelajaran yang ditekan pada pengakpan harfiah atas satu teks tertentu. Kekhasan ini masih tetap bertahan hingga dalam sistem sekolah dan madrasah, sebagaimana dapat dilihat dari sistem pendidikan di pesantren dewasa ini.
    Kedua, pemeliharaan tata nilai tertentu, yang juga dapat disebut sebagai subkultur pesantren. Tata nilai ini ditekankan pada fungsi mengutamakan aspek peribadatan sebagai pengabdian dan muliakan ustadz sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan agama yang hakiki. Dengan demikian, subkultur ini menegaskan pandangan hidupnya sendiri yang bersifat pesantren, berdiri dan tegak di atas landasan pendekatan ukhrawi dalam kehidupan. Dan ditandai dengan ketundukan mutlak kepada ulama. (Wahid, 2001 : 55-56)
    Mengacu pada pandangan Abdurrahman Wahid di atas, maka dapat dikembangkan bahwa secara umum model pondok pesantren jika ditainjai dari segi proses dan subtansi yang diajarkan, maka dapat dikategorikan ke dalam dua tipe, yaitu : pondok pesantren salafiyah dan pondok pesantren khalafiyah. Pondok pesantren salafiyah identik dengan sebutan Pondok pesantren tradisional. Sedangkan khalafiyah (‘Asriyah) identik dengan sebutan pondok pesantren modern. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas pondok pesantren, baik yang menyangkut kurikulum maupun metode pengajarannya. Bahan ajar meliputi ilmu-ilmu agama Islam, dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab, berdasarkan pada tingkat kemampuan masing-masing santri. Sedangkan pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang selain juga menyelenggarakan kegiatan pesantren kegiatan pendidikan formal (jalur sekolah), baik itu jalur  umum (SD, SMP, SMA dan SMK), maupun jalur sekolah berciri khas agama Islam (MI, MTs, MA dan MAK) dengan mengadaptasikan diri dengan kurikulum pemerintah baik dengan Departemen Agama, maupun Departemen Pendidikkan Nasional. (Departemen Agama, 2001: 41)
    Disamping dua tipe pesantren sebagaimana tersebut di atas, ada dua tipe pesantren sebagai gejala kekinian. Pertama, pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relative singkat. Sedangkan yang kedua, pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vokasional atau kejuruan, dimana santrinya kebanyakan berasal dari kalangan anak yang putus sekolah atau para pencari kerja. (Yakub, 1985: 70)
    Sejalan dengan dinamika perkembangan peradaban bangsa Indonesia, kita tidak bisa menyangkal bahwa sekarang kita hidup dalam era kebudayaan industri (industrial civilization). Artinya tidak lain bahwa kehidupan kita sekarang sangat bergantung kepada sikap industri itu sendiri. (Alisjahbana, 1992: 9). Masalah industrialisasi sebenarnya tidak dapat terlepas dari masalah modernisasi. Industrialisasi terjadi bila metode ilmu penegetahuan dan teknologi (IPTEK) diterapkan dalam kehidupan masyarakat. (Kuntowijoyo, 1998; 173) modernisasi jelas berimplikasi kepada perubahan dalam tatanan kehidupan.
    Pendidikan pesantren dalam era global yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, semakin dipertanyakan relevansinya, terutama jika dikaitkan kontribusinya bagi pembentukan budaya modern yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam konteks ini, pendidikan mengalami degradasi fungsional, ditetapkan sebagai asset sosial yang memiliki fungsi khusus dalam menyiapkan tenaga kerja yang akan memenuhi tuntunan dunia lapangan kerja yang bercorak industrialistis. Akurasi suatu program pendidikan dilihat dari seberapa jauh output pendidikan tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam mengisi lapangan kerja yang disediakan oleh dunia industri.
    Dalam konteks makro menurut Rusli karim (Muslih Usa, 1991: 127) hampir semua sistem pendidikan yang ada di dunia ini, selalu kalah berpacu dengan perubahan sosial. Konservatisme pendidikan makin dirasakan sebagai hambatan, karena komoditi yang dihasilkan dunia pendidikan selalu kalah berpacu dengan tuntutan perkembangan masyarakat yang begitu dahsyat. Perkembangan teknologi misalnya, sangat mendorong pertumbuhan industri komunikasi dan informasi sangat besar pengaruhnya terhadap hubungan kemasyarakatan. Dengan demikian telah terjadi pergeseran norma dan nilai yang dihayati masyarakat.
    Pesantren sebagai sebuah institusi lembaga pendidikan Islam tidak terhindar dari kemelut yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya. Atau bahkan konflik yang dihadapi oleh sistem pendidikan pesantren jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dilema yang melanda pendidikan yang tidak memasukkan dimensi keagamaan. Oleh karena itu dalam pendidikan Islam, seperti halnya pesantren menurut Rusli Karim dalam (Muslih Usa 1991: 127) terdapat multi para digma atau dengan kata lain, beban yang diemban pendidikan Islam mencakup aspek yang sangat kompleks, seperti aspek intelektual, kultural, nilai-nilai trasendental dan pembinaan kepribadian manusia sendiri.
    Dalam posisi yang sangat tergantung pada pola yang dikembangkan masyarakat industri, nampaknya pendidikan pesantren hanya mampu menyesuaikan diri dengan kecendrungan pendidikan yang sangat berorientasi materilistik guna mendukung modernisasi yang cetak birunya mereka tentukan sendiri, sebagai kekalahan dalam persaingan di tingkat global. Lebih lanjut menurut Rusli Karim, untuk upaya penyesuaian perlu ditingkatkan kecendrungan pesantren-pesantren besar, seperti halnya :
    1. Semakin akrab dengan metodologi ilmiah modern.
    2. Makin berorientasi pada pendidikan yang fungsional dalam arti, terbuka terhadap perkembangan.
    3. Deverifikasi program dan kegiatan telah memungkinkan makin terbukanya pesantren dan mengurangi ketergantungan absolute dengan kyai dan sekaligus dapat membekali para santrinya dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan pekerjaan.
    4. Dapat berfungsi sebagai pusat penegembangan masyarakat. 
    Namun, lanjut Rusli Karim, harus pula diingat bahwa dengan makin intensifnya pengaruh eksteren tersebut, pesantren juga menghadapi dilema. Beberapa gejala negative misalnya :
    a. Otonomi pesantren semakin berkurang; pesantren mempunyai ketergantungan pada pihak luar
    b. Masyarakat memandang pesantren sebagai pendidikan kelaperan rendah, kecuali pesantren yang membuka program pendidikan umum yang banyak diminati masyarakat.
    c. Merosotnya peran kyai, karena banyak kegiatan belajar mengajar tidak lagi bergantung kepadanya
    d. Belum tersedia infrastruktur yang relevan dan memadai dengan berbagai aktivitas penting
    Untuk dapat memwujudkan pesantren yang mampu menjawab tantangan zaman, Mastuhu memberikan langkah-langkah alternative sebagai berikut :
    1. Visi pendidikan pesantren yang kini cendrung berorientasi kepada pengembangan moral harus diperbaharui dengan visi yang lebih mengacu kepada persoalan bagaimana menguasai sain dan teknologi
    2. Dikotomi ilmu umum dan agama yang merupakan warisan politik budaya kolonial, tidak relevan lagi. Sebaliknya justru pesantren harus mulai memperkenalkan bahasa sains dan teknologi kepada santrinya
    3. Pesantren harus tetap konsisten pada pandangan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
    4. Pesantren disuplai oleh berbagai kalangan, baik ulama, ilmuan, maupun cendekiawan. Visi pesantren masa depan sangat ditentukan oleh uluran tangan mereka. Keterlibatan mereka adalah indikasi bahwa pesantren mampu menjadi institusi pendidikan yang modern.
    Sedangkan Nurcholis Madjid (1997: 101-102) berpendapat bahwa pembaharuan sistem yang ada dalam pesantren perlu segera dipikirkan, dengan pernyataannya sebagai berikut :
    1. Tidak ada yang bisa memimpin proses perubahan pesantren kecuali “orang dalam”. Sebab untuk dapat diterimanya gagasan baru itu, betapa pun sulitnya pada permulaan diperlukan kepemimpinan yang ligimate atau sah menurut ukuran-ukuran pesantren sendiri.
    2. Meskipun oleh pimpinan yang legimate, tetap diperlukan sikap hati-hati yang ekstra. Perubahan yang dilakukan tidak mungkin dengan radikal revolusioner, tetapi diusahakan seperti pepatah, “Bagaimana benaq tak putus tepung tak terserak”.
    3. Kesahan atau ligimate pimpinan dengan kharisma. Tetapi tidak cukup dengan kharisma saja, tetapi dibutuhkan juga skill atau keahlian. Dan jika ini tidak dimiliki oleh seorang pemimpin pesantren maka dapat dipenuhi oleh orang lain yang kedudukannya hanya sebagai pembantu atau sebagai pemimpin teknis.
    4. Biaya senantiasa menjadi persoalan yang kronis. Ini tentu harus dicarikan jalan keluarnya.
    5. Untuk pertimbangan efisiensi, dan karena keterbatasan biaya dan lain-lain, maka perlu disusun skala prioritas yang bisa dituangkan dalam rencana kerja, baik pendek maupun jangka panjang. Mungkin sekali prioritas utama adalah perombakan kurikulum, sebab selain biayanya relatif kecil pengaruh dan implikasinya pun cukup besar dan luas.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »