Tahfiz dan Pesantren


Tahfidz al-Qur’an (menghafal          al-Qur’an) adalah menghafal al-Qur’an dengan mutqin (hafalan yang kuat) terhadap lafazh-lafazh al-Qur’an dan menghafal makna-maknanya dengan kuat, sehingga memudahkan untuk menghadirkannya setiap menghadapi berbagai masalah kehidupan, yang mana al-Qur’an senantiasa ada dan hidup di dalam hati sepanjang waktu sehingga memudahkan untuk menerapkan dan mengamalkannya. Tahfidz al-Qur’an setidaknya mengandung tiga rukun, yaitu : pertama, menghafal lafazh, kedua, menghafal makna dan ketiga, menghafal amalan (Khalid, 2008 : 19).
Adapun langkah-langkah praktik model tahfidz al-Qur’an yang diterapkan adalah :
  1. Menghafal sesuai dengan urutan surat-surat, untuk permulaan dimulai dengan surat-surat pendek,
  2. Setiap hari para santri menghafal sejumlah hafalan sesuai dengan kemampuan,
  3. Pembatasan waktu setiap harinya untuk menghafal hafalan baru,
  4. Mengulang-ulang atau memurojaahkan hafalan tiap hari senin dan kamis.
Sedangkan proses bimbingannya adalah melalui:
  1. Bin-Nazhar, yaitu para calon hafidz/ hafidzah membaca dengan cermat ayat-ayat al-Qur’an yang akan dihafal dengan melihat mushaf al-Qur’an dihadapan guru secara beulang-ulang,
  2. Tahfidz, yaitu santri atau calon hafidz menghafalkan ayat-ayat yang telah dibaca berulang-ulang secara bin-nazhr tersebut,
  3. Talaqqi, yaitu calon hafidz menyetorkan atau memperdengarkan hafalan yang sudah dihafal kepada mustami’/seorang guru yang sudah menghafal al-Qur’an, proses ini dilakukan untuk mengetahui hasil hafalan dan untuk mendapatkan bimbingan seperlunya,
  4. Takrir/ muroja’ah, yaitu para calon hafidz mengulang hafalan yang sudah dihafal sebelumnya dengan memperdengarkan kembali kepada mustami’nya, dengan maksud agar hafalan yang pernah dihafal tetap terjaaga dengan baik.
  5. Tasmi’, yaitu para calon hafidz memperdengarkan hafalan kepada orang lain baik kepada perseorangan maupun kepada jamaah.
Pada dasarnya antara hafalan lafazh al-Qur’an dan merenunginya serta mengamalkannya harus berjalan bersamaan, sebagaimana perkataan Anas bin Malik  Ra. yang artinya : “Berapa banyak orang yang membaca al-Qur’an sedangkan al-Qur’an mengutuknya” (Ragib, 2009 : 70).
Hafalan terhadap lafazh adalah sarana untuk merenungi makna, kemudian mengamalkannya. Namun banyak ditemukan para santri hanya mencukupkan keinginan, maksud dan tujuan mereka pada hafalan lafazh saja, sehingga seluruh waktu, usaha, kesadaran, dan pikirannya terfokus untuk memantapkan bentuk kata dan huruf al-Qur’an dengan melupakan makna-maknanya, bahkan apa yang mereka hafal hari ini ia lupakan besok hari, kamudian mengulang yang pertama dan lupa yang kedua, bergantian antara hafalan dan lupa.
Penggunaan metode tahfidz al-Qur’an ini sampai sekarang masih menggunakan metode-metode lama, dan terlihat di pondok pesantren meskipun berhasil mencetak para hafidz dan hafidzah unggulan, baik dari segi hafalan lafadz-lafadznya, makna-maknanya dan juga pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang terlihat sekarang jauh berbeda, prestasi itu sangat mundur, kemunduran ini tidak terlepas dari kendala-kendala yang dihadapi dan belum bisa dipecahkan oleh pondok pesantren itu sendiri, baik kendala yang sifatnya intern (berasal dari pihak pondok pesantren dan berasal dari santri), maupun pihak ekstern (pergaulan santri dengan dunia luar).
     
      Pengertian Pesantren, Ruh Pesantren, dan Peran Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari­ hari.
Secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata "santri" , yang dengan awalan pe- dan akhiran-an berarti tempat tinggal para santri. Kata "santri" juga merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik. Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah "santri" berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam. Dengan demikian,pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi guru­ murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman.
Dalam hubungan dengan usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah (Departemen Agama), pengertian yang lazim dipergunakan untuk pesantren adalah sebagai berikut:
Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama  besar sejak abad pertengahan, (Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam  pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut.
Kedua, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (Santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari Jum'at, Ahad, Selasa atau tiap-tiap waktu shalat dan sebagainya).
Ketiga,      pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidikan modernrtemenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing.
Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karen memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri. Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pcsantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). Adapun yang dimaksud dengan pribadi muslim seutuhnya adalah pribadi ideal meliputi aspek individual dan sosial, aspek intelektual dan moral, serta aspek material dan spiritual. Sementara, karakteristik pesantren muncul sebagai implikasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian (menolong diri sendiri dan sesama), ukhuwwah diniyah dan islamiyah dan kebebasan. Dalam pendidikan yang seperti itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan falsafah hidup para santri.
Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. Selain itu, pendidikan dan pengajaran agaman Islam tersebut diberikan dengan metode khas yang hanya dimiliki oleh pesantren, yaitu;
1.      Wetonan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. Disebut dengan istilah Wetonan, berasal dari kata wektu (istilah jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau sesudah shalat fardhu yang lima atau pada hari-hari tertentu.
2.      Sorogan, adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya dihadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut.

Beberapa pesantren dalam perkembangannya, disamping mempertahankan sistem tradisionalnya juga menggunakan sistem madrasi, baik sebagai basis pendidikannya ataupun yang bersifat tambahan.
    
    Ruh Pesantren
Ruh adalah semangat dasar. Ia merupakan kualitas pokok yang wajib mendasari seluruh rancangan dan peran. Ruh pesantren adalah ibadah. Dasarnya adalah ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, hadits, dan ijtihad ulama dalam ijma’ dan qiyas. Filosofi pendidikan pesantren didasarkan atas hubungan yang bermakna antara manusia, ciptaan dan makhluk, dan Allah SWT. Hubungan itu baru bermakna jika bermuatkan atau menghasilkan keindahan dan keagungan (Ibrahim, 2004: 22). Ruh ibadah itu dijalani oleh semua guru dan santri dalam kegiatan mereka mencari ilmu, mengembangkan diri, ikut mengelola urusan operasional, mengembangkan kegiatan bersama santri dan masyarakat, bersiap untuk menerima atau mengelola pelajaran, dan memenuhi keharusan pertanggung jawaban kepada para pemangku kepentingan.
Dalam ruh serba ibadah itu terdapat dua bentuk (kiai atau modus eksistensi); yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai hamba-Nya warga pesantren menekuni jalan pembebasan dirinya dari belenggu masalahnya; yaitu kebodohan, keterbelakangan, ketidakberdayaan dan kemelaratan; hingga tiba saatnya kepandaian, kemajuan, keberdayaan, dan kemakmuran tercapai. Dalam perjalanan pembebasan itu berbagai tindakan dilakukan, apakah makna tiap-tiap capaian itu bagi statusnya sebagai makhluk yang kelak akan kembali kepada-Nya dan mempertanggungjawabkan semuanya.
Sebagai khalifah, manusia adalah pengemban tugas pengelolaan dan pemanfaatan dunia yang juga harus bertanggung jawab kepada Allah SWT. Kekhalifahan manusia itu terlekati dengan pemberian wewenang kepada manusia sebagai pengelola dan pengambil manfaat atas bumi yang tunduk kepada-Nya. Kekhalifahan itu juga melekat pada pemberian wewenang oleh Allah SWT yang sementara sifatnya dan tidak abadi. Dalam ketidak-abadian itulah manusia dituntut untuk memanfaatkan sumber daya yang dianguerahkan Allah SWT untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai pengemban amanat.
Dalam status itulah, maka pesantren diselenggarakan dalam jalur ikhtiar untuk memanusiakan mansuia secara fithrahnya. Fithrah manusia adalah bertauhid, mengakui adanya Yang Maha Esa. Dalam perspek Islam, Allah itu  satu, tunggal, dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Implikasi dari tauhid adalah kesetaraan semua manusia di hadapan-Nya, karena Yang Maha Kuasa adalah Dia.
Selain aspek ruh manusiawi pelakunya sebagai orang perorang sebagai hamba Allah SWT dan khalifah-Nya, maka secara kelembagaan ruh pesantren yang serba ibadah itu dijabarkan meturut sifat agama Islam; yaitu agama wahyu, agama keilmuan, agama kemanusiaan, dan agama kemajuan (Sabiq, 1982: 30). Dengan ruh itu mudah dipahami pembelajaran pesantren dan pergumulannya yang selalu terkait dengan kitab-kitab klasik keagamaan, keterbukaan pada masuknya aspek-aspek keilmuan melalui kehadiran madrasah/ sekolah dan perguruan tinggi, pemihakan kepada hak-hak asasi manusia warga negara, dan kepeloporannya dalam berpikir kritis untuk kemajuan.
  
     Peran Pesantren
Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah pondok pesantren. Biasanya peran-peran tersebut tidak langsung terbentuk, meliankan melewati tahapan. Setelah sukses sebagai lembaga pendidikan pesantren bisa pula menjadi lembaga keilmuan, kepelatihan dan pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan membangun integrasi dengan masyarakat barulah memberi mandat sebagai lembaga bimbingan keagamaan dan simpul budaya.
1.    Lembaga Pendidikan
Pengembangan apapun yang dilakukan dan dijalani oleh pesantren tidak mengubah ciri pokoknya sebagai lembaga pendidikan dalam arti luas. Ciri inilah yang menjadikannya tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Disebut dalam arti luas, karena tidak semua pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah dan kursus-kursus seperti yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya. Keteraturan pendidikan di dalamnya terbentuk karena pengajian yang bahannya diatur sesuai dengan penjenjangan kitab. Penjenjangan itu ditetapkan secara turun-temurun membentuk tradisi kurikuler yang terlihat dari segi standar isi, kualifikasi pengajar, dan santri lulusannya.
Tradisi itu jelas menunjuk kepada pewarisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Tradisi ini tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang mandek atau negatif, melainkan juga harus dilihat sebagai keberhasilan para ulama dalam membangun standar pembelajaran agama di pesantren yang terbukti dapat diterapkan sampai kurun waktu yang lama dan menjangkau kawasan yang sangat luas. Di manapun pesantren didirikan tidak perlu menunggu banyak tenaga ahli untuk memulai kegiatan pembelajarannya. Bahkan cukup dengan seorang kiai, sebuah pesantren sudah dapat dirintis dan memberikan manfaat bagi umat (Nafi, 2007 : 13).
Pencanggihan prorgam akan berjalan secara berangsur-angsur seiring sebanyak selesai dari suatu jenjang dan melanjutkan pelajaran ke jenjang berikutnya. Santri yang lebih senior akan segera mendapatkan tugas membimbing sejawatnya yang lebih yunior. Demikianlah setahap demi setahap tersedia komunitas pembelajar yang dapat menyelenggarakan suatu pendidikan yang utuh dan lengkap.
Kiai-kiai pesantren yang mengawali karirnya dengan mengajar kitab tertentu, mungkin akan tetap mengampu pembelajaran kitab itu hingga wafat beliau, meskipun dalam perjalanannya mendapat tugas-tugas pengemban yang menuntut kompetensi yang semakin kompleks.
Sebagai lembaga pendidikan umum, pesantren menghadapi persoalan komposisi muatan kurikulum; biasanya yang dipilih adalah 70%:30% untuk muatan keagamaan dan non keagamaan, atau 50%:50%. Persoalan komposisi ini juga terjadi pada pesantren yang membuka jalur-jalur kejuruan. Pesantren dapat mengatur terselenggaranya madrasah berkurikulum pemerintah, madrasah diniyah berkurikulum pesantren, dan pembelajaran-pembelajaran pesantren sebagaimana mestinya. Segmentasi masyarakat tampak sudah mulai terbentuk dengan kehadiran jalur yang beragam di pesantren (Hindun, 2007 : 14).
2.    Lembaga Keilmuan
Pola itu membuka peluang bagi pesantren untuk menghadirkan diri juga sebagai lembaga keilmuan. Modusnya adalah kitab-kitab produk para guru pesantren kemudian juga digunakan di pesantren lainnya. Luas sempitnya pengakuan atas kitab-kitab tersebut bisa dilihat dari banyaknya pesantren yang ikut mempergunakannya. Jarang terjadi kritik terbuka atas suatu kitab seperti itu dalam bentuk pidato atau selebaran. Yang lebih sering terjadi adalah ketidaksetujuan akan dituangkan ke dalam bentuk buku juga. Dan akhirnya masyarakat akan ikut menilai bobot-bobot kitab itu. Dialog keilmuan itu berlangsung dalam ketenangan pesantren selama berabad-abad hingga menerbitkan karya-karya atau catatan-catatan.
Catatan-catatan itu mulanya lebih banyak berisi keterangan yang didiktekan oleh kiai; bahkan dari yang disalin dari contoh tulisan atau bagian yang dibuat kiai di papan tulis. Lama-kelamaan berkembang menjadi seperti yang dapat dipahami dan dituangkan oleh santri untuk menjadi catatan. Kelak catatan itu akan berkembang menjadi karya kritis seroang santri karena sejumlah perspektif dan kreatifitas ditambahkan sendiri oleh sang penyusun catatan itu ditepian bawah.
Kebiasan mencatat serupa itu bisa menjelaskan fakta tentang banyaknya buku kajian keagamaan dan sosial yang melimpah dalam dua dasa warsa terakhir ini di tanah air. Buku merupakan tradisi kekotaan/ kosmopolitan. Dialog keilmuan yang terjadi melalui buku-buku itu telah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu dan menjadi penanda kosmopolitansi pesantren yang justru dibangun dari tradisi kitab kuning. Dengan perkembangan karya ilmiah itu terjadi pembaruan metodologi kajian Islam di kalangan pesantren apalagi setelah akses untuk belajar ke universitas-universitas sangat terbuka.
3.    Lembaga Pelatihan
Pelatihan awal yang dijalani oleh para santri adalah mengelola kebutuhan diri santri sendiri; sejak makan, minum, mandi, pengelolaan barang-barang pribadi, sampai ke urusan merancang jadwal belajar dan mengatur hal-hal yang berpengaruh kepada pembelajarannya, seperti jadwal kunjungan orang tua atau pulang untuk menjenguk keluarga. Pada tahap ini kebutuhan pembelajarannya masih dibimbing oleh santri yang lebih senior sampai santri mampu mengurusnya sendiri; sejak menyusun jadwal, pengadaan buku pelajaran, pembuatan catatan belajar pribadi, sampai meracang kegiatan belajar di pesantren lain pada waktu-waktu tertentu. Jika  tahapan ini dilalui dengan baik, maka santri akan menjalani pelatihan berikutnya untuk dapat menjadi anggota komunitas yang aktif dalam rombongan belajarnya. Di situ santri berlatih bermusyawarah, menyampaikan pidato (khutbah), mengelola suara saat pemilihan organisasi santri, mengelola tugas orientasi santri jika terpilih, mengelola urusan operasional di pondok, dan mengelola tugas membimbing santri yuniornya. Pelatihan-pelatihan itu bisa berlanjut hingga santri dapat menjadi dirinya sendiri di suatu waktu.
Paket pekatihan yang dibayangkan oleh generasi muda dan sebagian orang tua, sekarang, seperti keterampilan komputer, elektronik, fotografi, administrasi perkantoran, akuntansi, kewirausahaan, dan pengorganisasian masyarakat, sering diperoleh oleh santri melalui tugas yang diembannya selama belajar di pesantren. Pelatihan itu bisa berkembang menjadi lembaga pendidikan keterampilan yang diakreditasi oleh pemerintah, memperoleh pengakuan luas, dan menjangkau peserta dari luar pesantren. Kualifikasi dan tanggung jawab santri akan meningkat sejalan dengan tahap penguasaannya atas standar kompetensi yang diterapkan di lembaga-lembaga itu.
4.    Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
Jarang ada pesantren dapat berkembang dalam waktu yang singkat dan langsung berskala besar, karena setiap tahapan dipahami sebagai membutuhkan penjiwaan. Kebesaran pesantren akan terwujud bersamaan dengan meningkatnya kapasitas pengelola pesantren dan jangkauan programnya di masyarakat. Karakteristik inilah yang dapat dipakai untuk memahami watak pesantren sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat.
Dalam melakukan program pemberdayaan ini pesantren pada umumnya benar-benar mandiri dan lebih selektif pada lembaga penyandang dana dari luar masyarakatnya sendiri. Hal itu terutama setelah tahun 1980-an banyak kegiatan pengembangan masyarakat tidak menubuh ke dalam perkembangan pesantren sendiri, sehingga dirasakan menempel saja tanpa pembaruan dari dalam pesantren. Inovasi terjadi banyak masyarakat pesantren tetapi inovasi sosialnya tidak memenuhi harapan.
Pengalaman itu menjadi latar belakang kritis atas wacana pengembangan masyarakat di pesantren. Jenis pengembangan masyarakat yang lebih menjadikan masyarakat pesantren sebagai pasar bagi produk asing menjadi sorotan tajam. Konsep pengembangan masyarakat pun diganti dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam konsep ini termuat pendekatan yang lebih memampukan masyarakat; yaitu yang dapat memperbaiki tata kuasa, tata kelola dan tata guna sumber daya yang ada pada masyarakat pesantren (A’la, 2007 : 18).
Pemberdayaan masyarakat melaui pesantren menjadi menarik, karena berlangsung dalam ketenangan dan sekaligus kekritisan. Tanga, karena perubahan gradual sudah menjadi wataknya. Kritis, karena pesantren sudah terbiasa mempersoalkan segi-segi dasariah dan praktik hidup di sekelilingnya. Kitab-kitab sumber belajar santri biasanya diawali dengan ta’rif atau definis pokok-pokok yang dipelajari. Kebiasaan ini terbawa serta saat masyarakat santri melihat lingkungan dan realitas di sekelilingnya. Faktor pendukung ketenangan dan kekritisan itu adalah peran pokok pesantren sebagai lembaga pendidikan, yang kemduian ditopang dengan perannya sebagai lembaga keilmuan, lembaga bimbingan keagamaan, dan lembaga pelatihan.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren percaya bahwa manusia akan meningkat martabatnya seiring dengan penguatan nilai-nilai dalam dirinya. Penanaman atau penumbuhan nilai-nilai dalam pribadi dan masyarakat membutuhkan waktu penyemaian yang tidak bisa disebut sebentar. Sebagai lembaga keilmuan, pesantren percaya bahwa nilai-nilai kebenaran tidaklah terbangun secara secara serta-merta karena untuk memahami keseluruhan dalil, uswah, disertai dengan pembuktian dan klarifikasi.
Kekritisan pesantren terbangun oleh wataknya yang merekam banyak hal sekaligus bahkan dalam rentang pewarisan yang panjang. Perubahan-perubahan sosial dan juga pasang surut penghidupan warga masyarakat tidak luput dari perhatiannya karena memang pesantren hidup di dalam masyarakat itu. Tidak heran banyak kiai dan kalangan pesantren peka akan “tanda-tanda zaman” sebagai buah dari keterikatan dengan denyut dinamika masyarakat itu.
5.    Lembaga Bimbingan Keagamaan
Banyak pesantren ditempatkan sebagai bagian dari lembaga bimbingan keagamaan oleh masyarakat pendukungnya. Setidaknya pesantren menjadi tempat bertanya masyarakat dalam hal keagamaan. Mandat pesantren dalam hal ini tampak sama kuatnya dengan mandat pesantren sebagai lembaga pendidikan. Di beberapa daerah, identifikasi lulusan pesantren kali pertama adalah kemampuannya menjadi pendamping masyarakat untuk ritual urusan keagamaan sebelum mandat lain yang berkaitan dengan keilmuan, kepelatihan, dan pemberdayaan masayrakat.
Dorongan keagamaan dalam peran ini antara lain firman Allah SWT:

Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (an-Nahl :125).

Dan pada saat yang sama Allah juga memberikan rambu-rambu yang tegas dalam dakwah agar tidak mengulang kesalahan Bani Israil dalam dakwah mereka, Allah SWT. menegaskan :
Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir (al-Baqarah : 44).

Faktor-faktor yang mendukung pesantren sebagai lembaga bimbingan keagamaan adalah kualifikasi kiai dan jaringan kiai yang memiliki kesamaan panduan keagamaan, terutama di bidang fiqih, kesamaan pendekatan dalam merespon masalah-masalah yang berkembang di masyarakat. Aliran pemikiran keagamaan pesantren sering menjadi acuan bagi masyarakat sekitarnya (Nafi’, 2007 : 20).
Kesimpulan pesantren yang berperan sebagai lembaga bimbingan keagamaan terletak pada masalah keagamaan yang berupa fatwa. Dengan criteria itu, dimaksudkan agar sesuai dengan segi-segi kemaslahatan masayrakat; baik yang menyangkut segi-segi agama, jiwa raga, akal, keturunan, dan harta; dan fatwa itu dijauhkan dari kepentingan pribadi dan kelompok serta pendekekatan tekstual belaka dari dalil yang dijadikan sandaran.
Kriteria fatwa dan kaidah ini umumnya dipandang sebagai isyarat tegas akan pentingnya kehati-hatian dalam penetapan fatwa dan penyampaiannya, maka dalam menjalankan perannya sebagai lembaga bimbingan keagamaan pesantren bersikap hati-hati dan bertumpu pada kerja kolektif kiai. Di sinilah peranan jaringan kiai menjadi sangat penting. Cabang-cabang masalah keagamaan pun semakin banyak dengan adanya perkembangan kehidupan masyarakat. Hal ini terbawa pula kepada keragaman pesantren yang selaras dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu agama Islam.  

6.    Simpul Budaya
Pesantren dan simpul budaya tidak dapat dipisahkan. Bidang garapannya yang berada di tataran pandangan hidup dan penguatan nilai-nilai luhur menempatkannya ke dalam peran itu, baik yang ada di daerah pengaruh kerajaan Islam maupun di luarnya. Pesantren berwatak tidak larut atau menentang budaya di sekitarnya. Yang jelas pesantren selalu kritis sekaligus membangun relasi harmonis dengan kehidupan di sekelilingnya. Pesantren hadir sebagai sebuah sub kultur, budaya, sandingan, yang bisa selaras dengan  budaya setempat sekaligus tegas menyuarakan prisnip syari’at. Di situlah pesantren melaksanakan tugas dan memperoleh tempat.
Ukuran baik dan buruk dan beragam rujukan seni yang berkembang di masyarakat bisa dikenali hubungannya dengan yang dikembangkan oleh pesantren, meskipun terdapat pelapisan dilihat dari kedekatannya dengan ajaran agama Islam. Dalam pelapisan itu pesantren menempatkan diri di bagian tengah, sebagai pelaku yang paling banyak bergumul dengan ajaran-ajaran agama, dengan kesenian yang lebih bercita-rasa kekhusyukan; sementara semakin jauh dari pusaran pesantren cita rasanya bergeser ke arah yang lebih popular.
Pelapisan ukruan nilai-nilai ditampilkan oleh konfigurasi itu ke dalam terioteri yang bertandakan jarak kepada pendalaman ajaran agama Islam. Masing-masing dengan tugasnya. Yang di lingkaran paling dalam berkisar pada semua ranah pendidikan Islam, baik kafa’ah, tabi’ah  yang harus se arah dengan ajaran Islam. Yang ditepiannya mungkin tidak harus kuat faqahah-nya, tetapi cukup bertabiatkan yang selaras dengan ajaran Islam. Artinya, orang tidak harus paham dalil ajaran agama, tetapi yang penting mengamalkannya. Dan di tepian luarnya adalah menggugah semangat para pemuda untuk setia kepada komunitas Muslimnya.
Simpul budaya dalam konfigurasi seperti itu mudah dituding sebagai gejala religio feodalism atau feodalisme berbaju keagamaan, karena adanya perilaku menghormat kepada para kiai yang memegang otoritas di pusat otoritas di pusat lingkaran itu. Penghormatan itu sering juga sampai kepada keluarganya. Penghormatan itu sesungguhnya merupakan bentuk kepercayaan dan mandat agar kiai dan keluarganya teguh dalam perannya sebagai moderator dinamika nilai-nilai kultural yang terbentuk di sekelillingnya. Dalam status itu kiai bertindak sebagai salah satu pengatur arus dari masyarakat pesantren dan di luar pesantren (Aziz, 2007 : 28). Peran itu menempatkan pada keharusan berposisi tengah, meneriman lebih banyak informasi, memiliki tingkat keterhubungan individual yang lebih tinggi daripada warga lainnya, merekam lebih banyak opsi yang diajukan dalam banyak pertemuan, dan memudahkan masyarakat untuk membangun kembali pengetahuan mereka dalam menjawab persoalan-persoalan yang kadangkala belum ada contoh pemecahannya. Dengan demikian tudingan akan adanya religio feodalism merupakan penilaian dari luar saja yang kurang disertai tilikan mendalam atas mandat masyarakat kepada para kiai pesantren sebagai pemuka pendapat.
Simpul seperti itu tidak mendominasi bentukan struktural di masyarakat. Dominasi terjadi jika toleransi, empati, kepedulian pada komunitas, dan paham yang menghargai pelayanan dikesampingkan. Pratto menyimpulkan bahwa “orientasi dominasi sosial berkorelasi negatif dengan empati, toleransi, komunalitas dan altruisme”.
Terlepas dari pembahasan di atas, kehadiran baru pesantren semakin diperlukan seiring dengan kemudahan-kemudahan yang sebagian telah menimbulkan ekses ketergantungan dan pelemahan kedaulatan masyarakat lokal atas nilai-nilai, pengetahuan, komunitas, dan sumber daya mereka. Ketercerabutan itu telah menjadi faktor kuat dalam kegoyahan panduan utama masyarakat. Puncaknya adalah konflik berkekerasan komunual yang terjadi di banyak daerah dengan luka yang sangat mendalam dan pesantren sungguh sangat ditunggu dapat berperan nyata di dalamnya.
Refleksi atas pengaalaman pendampingan untuk mediasi di berbagai daerah konflik berkekerasan memberikan pelajaran bahwa pesantren ddiharapkan dapat mengembangkan panduan hidup nirkekerasan dalam penyelesaian masalah-masalah konfliktual. Panduan hidup itu tidak menyarankan pilihan sikap untuk menghindar dari konflik yang terjadi. Kecakapan untuk berunding, memulihkan hubungan, mediasi, arbitrasi, penyelesaian masalah melaui peradilan, dan mengawal masalah sampai ke tingkat legislasi di parlemen kiranya sudah mendesak dimasukkan ke dalam muatan kruikulum pesantren. Kajian tentang as-Shulhu (perdamaian) di dalam referensi-referensi fiqih perlu ditekuni dan dikembangkan di kalangan para santri, terutama yang belajar di pesantren atau berasal dari daerah yang memiliki jejak-jejak konflik berkekerasan. Tujuannya adalah untuk menjauhkan semua bentuk kekerasan komunal, memperkuat usaha-usaha yang dapat memulihkan hubungan, dan mendorong terciptanya relasi sosial yang lebih adil. Dan kekayaan keilmuan pesantren tentang mediasi dan arbitrasi menunggu untuk dijabarkan menjadi kecakapan yang melekat pada lulusan pesantren.
     
       Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren
Agak sulit untuk mengidentifikasi dan menerangkan kapan dan bagaimana sesungguhnya pesantren itu lahir (baca ada). Studi yang dilakukan oleh para sarjana kadang-kadang belum menemukan titik temu yang dapat dipakai sebagai sumber informasi yang benar-benar dipercaya mengenai perjalanan kehidupan pesantren. Seperti dikemukakan oleh Geertz sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa:
"Islam masuk ke Indonesia secara sistematis baru pada abad ke-14, herpapasan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistern politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial keagamaan ayang sangat maju, yang dukembangkan oleh kerajaan Hindu-Budha di Jawa yang telah sanggup menanamkan akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia”.

Apa yang dikemukakan Geertz tersebut hanya tentang Islam di kraton­-kraton (pusat kekuasaan) di Jawa, sedangkan yang menyangkut Islam dilingkungan pesantren tidak disinggung sama sekali. Sebenarnya Islam di  pesantren merupakan upaya kelanjutan dari masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dilakukan oleh pedagang Arab sejak abad ke-13. Geertz tidak menyebut tentang Islam di lingkungan pesantren, padahal Islam di lingkungan orang pesantren merupakan akar yang amat kuat yang dibentuk melalui pendekatan yang sangat manusiawi yang disebarkan lewat pengajaran oleh guru dan murid berdasarkan atas kehidupan kekeluargaan.
Sesungguhnya proses terbentuknya pesantren dapat dipastikan sebagai upaya untuk melembagakan kegiatan agama, agar memiliki posisi dan peran yang berarti dalam menangani dan menanggulangi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh para pemula penyebar agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan non formal dengan tatap muka yang kurang terjadwal berubah secara berangsur-angsur menjadi kegiatan yang terorganisasi, terlembaga dalam wujud yayasan-yayasan pendidikan pesantren, dari pesantren dengan sistem pendidikannya yang masih sangat sederhana hingga pesantren yang telah menerapkan sistem pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah berasrama (Islamic Boarding School).
1.             Walisongo dan pengaruhnya
Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo pada abad ke-15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (Tahun 1419 di Gresik)-spiritual father Walisongo dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di Tanah Jawa.
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa abad ke-15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat.Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. "Wali" dalam bahasa Inggris pada umumnya diartikan "saint", sementara "songo" adalah istilah bahasa jawa yang berarti sembilan. Para santri jawa berpandangan bahwa Walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di jawa demikian memikat.
Pada abad ke-15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah mereka hingga mereka memiliki jaringan di kota­ kota bisnis di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kota-kota inilah komunitasa muslim pada mulanya terbentuk. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo mendirikan masjid pertama di Tanah Jawa, yaitu masjid Demak. Masjid ini kemudian menjadi pusat terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa termasuk daerah­-daerah pcdalaman.
Bagi  komunitas  muslim, Masjid Demak tentu bukan saja sebagai pusat ibadah   (ritual keagamaan), tetapi juga sebagai wahana pendidikan mengingat  lembaga  pendidikan Islam -lebih dikenal dengan pesantren-pada masa awal ini belum menemukan bentuknya yang final, bahkan masih sangat sederhana. Masjid dan pesantren sesungguhnya merupakan center of execellece yang saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian muslim. Sesungguhnya pula dakwah dan pendidikan tidak bisa dipisahkan dalam sejarah dan ajaran dasar Islam.
Pendidikan Islam atau juga transmisi Islam yang dipelopori Walisongo merupakan perjuangan brilliant yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam karena pendekatan­-pendekatan Walisongo yang konkrit realistik, tidak "jlimet" dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Approach dan wisdom Walisongo agaknya terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep modeling, keagungan Muhammad SAW, serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Barangkali karena modeling ini pula gagasan pesantren sederhana yang diperkenalkan Maulana Malik Ibrahim mampu eksis dan berekembanng dari abad ke abad sampai kini. Untuk  mengantisipasi dan mengakomodasi persoalan-persoalan sosial keagamaan serta merekrut murid-murid baru, Maulana Malik lbrahim tidak merasa kesulitan dalam mendirikan prototipe pesantren dalam bentuk embrio. Pendirian pesantren ini dibarengi dengan keberhasilan tokoh ini dalam menarik simpati massa, dan melengkapi diri dengan modal materi pribadi yang digunakan untuk dakwah lslamiyyah sebagai "a traveling Muslim merchant" dan guru panutan. Pada siang hari, sang guru membawa anak didik ke sawah dan malam hari mengajarkan mereka ilmu-ilmu dasar seperti membaca A1-Qur'an. Karena rekayasa ini, tokoh ini sering disebut sebagai "the father of early pesantren" di Jawa. Langkah beliau ini kemudian diikuti oleh para wali setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel dengan mendirikan pesantren di daerah Kembang Kuning (Surabaya)  sebagai pusat kegiatan dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama. Pesantren ini yang terdokumentasi  dalam Babad Tanah Djawi sebagai awal mula adanya sebuah lembaga yang disebut "pesantren".
Walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah "sayangi, hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka makanan dan pakaian, hingga mereka bisa menjalankan syari'at Islam dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan".
Sedangkan pola hubungan antara santri dan kyai lebih diwarnai oleh ajaran dari kitab ta'lim al-Muta'allim karya Zarnuji, yang dianggap sebagai pedoman etika mencari ilmu yang melibatkan peran kyai.
2.       Masa Kerajaan Mataram
Pada abad berikutnya setelah masa Walisongo, sekitar abad ke-17, lemhaca pcndidikan pesantren semakin mendapatkan posisi di masyarakat, karena penguasa kerajaan saat itu memberikan perhatian besar terhadap pendidikan agama Islam dengan memelopori usaha-usaha untuk memajukan dunia pendidikan dan pengajaran Islam.
Pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613 sampai dengan 1645, Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di Jawa setelah pemerintahan Majapahit dan Demak, yang juga dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidin Panotogomo Ing Tanah Jawi, yang berarti pemimpin dan penegak agama di tanah jawa. Sultan Agung adalah pemimpin negara yang salih dan menjadi salah satu rujukan utama bagi dunia santri. Sultan Agung menjalin hubungan intim dengan kelompok ulama. Bersama mereka, Sultan Agung melaksanakan shalat jum'at dan diikuti dengan tradisi musyawarah dan mendengar fatwa-fatwa keagamaan mereka.
Sebagai wujud besarnya perhatian Sultan Agung terhadap pendidikan Islam, beliau menawarkan tanah untuk pendidikan bagi kaum santri serta menciptakan iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300-an pesantren.
Tanah yang dijadikan sebagai lahan bagi pendidikan adalah tanah dengan beberapa privileges adalah sebuah lokasi untuk kepentingan kehidupan beragama yang dibebaskan dari pajak Negara. Perkembangan berikutnya menunjukkkan bahwa tanah perdikan meluas menjadi sebuah kampong khusus yang memiliki fungsi keagamaan seperti menjaga tempat-tempat suci, merawat  dan mengembangkan pesantren serta menghidupkan Masjid.
Pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada masa kerajaan Mataram, khususnya masa Sultan Agung, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Tingkat pengajian Al-Qur'an, yang terdapat dalam setiap desa. Yang diajarkan meliputi huruf Hijaiyah, membaca  Al-Qur'an, barjanji, Rukun Iman, Rukun Islam. Gurunya Modin.
b.             Tingkat pengajian  Kitab. para santri yang belajar pada tingkat ini adalah mereka yang telah khatam A1-Qur'an. Gurunya biasanya modin terpandai di desa itu, atau didatangkan dari luar dengan syarat-syarat tertentu. Guru-guru tersebut diberi gelar Abah Anom. Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan mereka umumnya mondok. Kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab dasar, seperti Matan Taqrib, Bidayatul Hidayah. Sistem yang digunakan adalah Sorogan
c.    Tingkat Pesantren Besar. Tingkat ini lengkap dengan pondok dan tergolong tingkat tinggi. Gurunya diberi gelar Kyai Sepuh atau Kanjeng Kyai dan umumnya para priyayi "ulama kerajaan" yang tingkat kedudukannya sama dengan penghulu. Adapun pelajaran yang diberikan pada pondok pesantren tingkat ini pada umumnya berbentuk syarah dan hasyiyah dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, llmu Kalam, Tasawuf , Nahwu, Sharaf dan lain-lain.
d.   Pondok Pesantren tingkat Keahlian (takhassus). Pelajaran pada pondok pesantren tingkat takhassus ini adalah bersifat memperdalam sesuatu faham atau disiplin ilmu pengetahuan agama seperti hadits, tafsir, tarekat dan sebagainya.
Sejalan dengan proses dinamis ini pendidikan Islam di Jawa masa kerajaan Mataram, khususnya pada masa Sultan Agung, dipandang oleh Mahmud Yunus, sebagai masa keemasan sistem pendidikan Islam abad ke-19."
         3.       Masa Penjajahan
Kemajuan pendidikan dan pengajaran Islam yang pesat pada masa kerajaan  Mataram  rupanya membuat pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir. Sebab, dengan majunya pesantren, pada suatu saat akan mengancam kedudukan Belanda. Oleh karena itu, di kalangan pemerintah Belanda, muncul dua alternatif untuk memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia, yaitu mendirikan lembaga  pendidikan yang berdasarkan lembaga pendidikan tradisional, pesantren atau mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di Barat waktu itu.
Pendidikan yang diselenggarakan secara tradisional di pesantren menurut pemerintah Belanda terlalu jelek dan tidak mungkin dikembangkan menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka memilih alternatif kedua yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang telah ada.
Pendidikan Kolonial Belanda ini sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda ini khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pengetahuan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan agama.
Tetapi ternyata dengan diselenggarakannya pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda ini justru tidak lebih memberikan keleluasaan pendidikan pesantren yang dikelola orang-orang pribumi (umat Islam). Pemerintah kolonial berusaha menghalang-menghalanginya, terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan yang dirasakan cukup menekan kegiatan pendidikan Islam di Indonesia.
Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian bangsa Indonesia, terutama bagi golongan priyayi dan pejabat, oleh pemerintah kolonial tersebut maka sejak itu terjadilah persaingan antara lembaga pendidikan tersebut dengan lembaga pendidikan pesantren
Meskipun harus bersaing dengan sekolah- sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial, lembaga pendidikan pesantren tetap eksis dan bahkan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jika pada awal abad ke-19, waktu Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah, jumlah pesantren di Jawa hanya sebanyak 1.853 buah, dengan jumlah santri 16.556 orang. Tetapi pada akhir abad ke-19 jumlah pesantren mencapai 14.929 buah dan jumlah santri sebanyak 222.663 orang.
Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya segi-segi ideologis dan cita­cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis, bahkan perlawanan fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah koonial Belanda pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan dari pesantren. Perang-perang besar, seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Banjar, sampai perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni­-alumninya memegang peranan utama.
Menyaksikan kenyataan yang demikian menyebabkan pemerintah kolonial di akhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Oleh karena itu, pemerintah kolonial mulai mengadakan pengawasan dan campur tangan terhadap pendidikan pesantren dengan mengeluarkan ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang mengajarkan agama, seperti pesantren dan guru-guru agama yang akan mengajar juga harus mendapatkan izin dari pemerintah kolonial di wilayah setempat.
Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat yang mulai menjangkau sebagian bangsa Indonesia, pesantren pun mulai mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, termasuk dalam bidang pendidikan mulai masuk ke Indonesia dan mulai merasuk ke dunia pesantren, serta dunia pendidikan Islam pada umumnya. Ide-ide pembaharuan dalam dunia Islam itu timbul sebagai akibat kemunduran umat Islam dan merajalelanya penjajahan Barat. Umat Islam menyadari akan kelemahan dan ketertinggalannya dari Barat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi maupun budaya. Olah karena itu usaha pembaharuan pada umumnya ditekankan pada pembaharuan dalam dunia pendidikan.
Pada garis besarnya ide pembaharuan dlam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam, bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.       Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada sistem pendidikan yang berlaku di Barat, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di dunia Barat dipandang sebagai sumber kekuatan. Oleh karena itu kelompok ini mengembangkan sistem dan isi pendidikan Barat.
b.       Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni. Mereka berpandangan bahwa sesungguhnya ajaran Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan, sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah pada zaman keemasan Islam di masa lalu. Usaha pembaharuan pendidikan bagi mereka harus kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni Al-Qur'an dan A1­-Sunnah, yang tidak pernah membedakan antara agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh terpisah dari Islam. Pendidikan harus juga mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagimana yang dikembangkan oleh Barat.
c.       Gerakan pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang sejarah bangsa masing-masing. Dengan memperbaiki dan mengembangkan apa yang ada, dengan menghilangkan kelemahan – kelemahannya, serta memasukkan unsur-unsur baru (ilmu pengetahuan dan teknologi)        diharapkan akan membawa kemajuan bagi bangsa yang bersangkutan.
Ketiga pandangan tersebut, nampaknya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan pesantren dan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang abad ke-20. Sistem penyelenggaraan sekolah-sekolah modern klasikal mulai masuk ke dunia pesantren.
Sementara itu, di beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, tetapi pelajarannya dititik beratkan pada pelajaran agama saja. Kemudian pada pcrkembangan berikutnya, madrasah-madrasah yang semata-mata bersifat diniyah berubah menjadi madarasah-madrasah yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
4.      Masa kemerdekaan dan Pembangunan
Pesantren, dalam perjalanan sejarahnya sejak masa kebangkitan nasional hingga masa perjuangan kemerdekaan, senantiasa tampil dan berpartisipasi aktif. Oleh karena itu, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantoro yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada masa kemerdekaan dan pembangunan, pesantren mampu menampilkan dirinya berperan aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan sistem pendidikannya, dengan manajemen tradisional. Tetapi beberapa pesantren dapat segera mengidentifikasi persoalan ini dan melakukan berbagai inovasi untuk pengembangan pesantren. Disamping pengetahuan agama Islam, diajarkan pula pengetahuan umum dan ketrampilan (vocational) sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan kepada santri agar selepas mereka dari pesantren dapat hidup mandiri dan mapan ditengah-tengah masyarakat. Beberapa pesantern juga telah menggunakan sistem klasikal dengan saran dan prasarana pengajaran sebagaimana yang ada di sekolah-sekolah umum. Bahkan ada juga pesantren yang lebih cenderung mengelola dan membina lembaga pendidikan. formal, baik madrasah atau sekolah umum mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi.
Transformasi kelembagaan pondok pesantren ini meng-indikasikan terjadinya keberlangsungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren. Dalam konteks ini, pesantren disamping mampu terus menjaga eksistensinya juga sekaligus bisa mengimbangi dan menjawab perubahan dan tuntutan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren memiliki kelenturan budaya yang memungkinkannya bisa tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Penting ditegaskan di sini bahwa transformasi tersebut pada kenyataannya tiak menggeser ciri khas dan sekaligus kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam.
Demikianlah pesantren yang telah ada di Indonesia sejak dua abad lalu tidak mengalami penurunan peran. Bahkan justru semakin eksis dan diminati masyarakat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pesantren dalam tiga dasa warsa terakhir, sejak tahun 1970-an. Data Departemen Agama, misalnya, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang. Jumlah tersebut rnenngalami peningkatan bcrarti pada 1981, dimana pesantren berjumlah sekitar 5.661 buah dengan jumlah santri sebanyak 938.397 orang. Pada 1985 jumlah pesantren mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang dan pada 1997/1998 Departemen Agama telah mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 orang.
Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia tampaknya cukup mewarnai perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, tentunya juga tidak dapat menghindar dari kritik terhadap kekurangannya.
Diantara kelebihan pesantren terletak pada kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren, dilandasi oleh tata nilai yang menekankan pada fungsi mengutamakan beribadat sebagai pengabdian kepada Sang Khalik dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki, yang dikejar adalah totalitas kehidupan yang diridhoi Allah. Sikap hidup yang demikian terlepas dari acuan-acuan struktural yang ada dalam susunan kehidupan masyarakat di luar pesantren. Hal  ini dapat membuat santri mampu bersikap hidup tidak menguntungkan diri pada lembaga mesyarakat yang manapun.

Sementara kekurangan-kekurangannya antara lain adalah tidak adanya perencanaan yang terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri, tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicerna dan dikuasai oleh santri (anak didik), tidak adanya pembedaan yang jelas antara hal-hal yang benar-benar diperlukan dan yang tidak diperlukan dalam suatu tingkat pendidikan. Pedoman yang digunakan tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, akibatnya adalah tidak adanya landasan filsafat pendidikan yang jelas dan terperinci. Bagaimanapun keadaan pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita mengakui besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya Jawa, dan tidak berlebihan jika pesantren dianggap sebagai bagian historis bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Apalagi pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia yang mengakar kuat dari masa pra-Islam.

Memilih Pemimpin Menurut Pandangan Islam

Pemimpin dalam Islam berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Seperti yang tertera dalam QS. An-Nisa ayat 5: “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu”. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).
Pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah SWT untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Hakikat Kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah SWT.
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah SWT, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah SWT di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia. Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: “Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)”(H.R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: “Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. “Maka jawab Rasulullah SAW: “Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu” (H.R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, “Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”.

Kriteria Pemimpin

Para ulama telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu jujur, kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah SWT. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Misalnya harus mampu mengkomunikasikan dengan baik kepada rakyat visi, misi dan program-programnya serta segala macam peraturan yang ada secara jujur dan transparan. Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Selain ke empat sifat diatas, perlu diketahui pula syarat pemimpin dalam Islam lainnya seperti yang dijabarkan berikut ini:
1.   Beragama Islam, Beriman dan Beramal Shaleh, Pemimpin beragama Islam (QS. Al-Maaidah 5: 51), dan sudah barang tentu pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh.
2.   Niat yang Lurus, Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya… (HR Bukhari&Muslim). Karena itu hendaklah menjadi seorang pemimpin hanya karena mencari keridhoan Allah.
3.    Laki-Laki, Dalam Al-qur’an surat An nisaa’ (4) :34 telah diterangkan bahwa laki laki adalah pemimpin dari kaum wanita.“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)…”. Selain itu rasullulah SAW pun bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.” (HR Al-Bukhari).
4.  Tidak Meminta Jabatan, Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, ”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (HR Bukhari&Muslim)
5.   Berpegang pada Hukum Allah, Allah berfirman, ”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maaidah:49).

6.      Memutuskan Perkara Dengan Adil, Rasulullah bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (HR Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab     Al-Kabir).
7.   Tidak Menerima Hadiah, Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda, “Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (HR Thabrani).
8.  Kuat dan Sehat, …sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya (Al Qashas 28: 26).
9.   BerLemah Lembut, Doa Rasullullah: “Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya”
10.   Tegas dan bukan Peragu, Rasulullah bersabda, “Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).

Memilih Pemimpin

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits. Pertanggung jawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah “cermin” siapa mereka. Hal ini sesuai dengan pepatah yang berbunyi: “Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian”.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seseorang: “Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau? Jawab Ali: “Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka didukung oleh orang-orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu” (Syadzaraat Adz Dzhahab 1/51).
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda ditangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah. DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir.” (HR. Ad-Dailami)
Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.

Wallahu ‘alam Bisshawab