Kepemimpinan Tuan Guru Dalam Memajukan Pondok Pesantren

1. Konsep-Konsep Kepemimpinan
Konsep kepemimpinan sangat kompleks dan mengalami perekembangan. Kepemimpinan dipahami secara berbeda dalam kultur yang berbeda, diperlukan banyak upaya untuk mempelajari dan memahami kepemimpinan sudut panjang kultur .
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain. Keberhasilan seorang pemimpin tergantung kepada kemampuannya untuk mempengaruhi itu. Dengan kata lain kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan sesorang untuk mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang tersebut agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti kehendak-kehendak pemimpin itu. Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang dimiliki kemampuan tersebut (Anoraga, 2003 : 2). 
Menurut Vethzal Rivai (2006 : 3) memberikan definisi Kepemimpinan memiliki tiga implikasi kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok :
1. Kepeminpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut,
2. Kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah tanpa daya,
3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara.
Menurut Hembil, kepemimpinan merupakan perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke satu tujuan yang ingin dicapai bersama. Pandangan Tannebaun, Weschler dan Masarik, kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. (Yulk, 1994: 2)
Kepemimpinan dalam perspektif yang dikemukakan oleh Tobroni. Ia mengungkapkan bahwa pada dasarnya kepemimpinan itu tidak ditentukan oleh pangkat, jabatan dan kedudukan seseorang. Kepemimpinan muncul dari kondisi eksternal dari keindahan seseorang (outer beauty of Human being), melainkan dari keindahan jiwanya (inner beauty of spiritual human being). Kepemimpinan  muncul dari sebuah proses panjang dan sebuah keputusan untuk menjadi pemimpin. Ketika sesorang menemukan keyakinan dasar (core billief) dan nilai-nilai dasar (core values) yang dijadikan pegangan hidupnya, ketika seseorang menetapkan visi dan misi hidupnya, ketika seseorang merasa damai dalam hidupnya (inner peace), memiliki karakter yang kokoh (integritas), ketika ucapan dan tindakannya  mampu memberikan pengaruh kepada orang lain secara sukarela, ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang menjadi pemimpin yang sesungguhnya. (Tobroni, 2005: 37-38)
Dari beberapa pandangan kepemimpinan di atas, dapat diambil pengertian bahwa kepemimpinan adalah pengaruh sosial yang dalam hal ini perilaku yang sengaja dijalankan seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas serta hubungan dalam sebuah kelompok/organisasi atau lembaga pendidikan.
Pada perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada pandangan ke depan, terdapat dua gaya kepemimpinan, yaitu :
1. Berorientasi pada pencapaian tujuan, walaupun suasana tegang.
2. Berorientasi pada pemeliharaan suasana kerja yang akrab, walau mungkin tujuan tidak tercapai sepenuhnya.
Dari dua gaya kepemimpinan tersebut, muncul gaya-gaya gabungan yang dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pemeliharaan suasana kerja rendah, upaya pencapaian tujuan rendah.
2. Upaya pemeliharaan suasana kerja tinggi, pencapaian tujuan rendah.
3. Upaya pencapai tujuan rendah, suasana kerja tinggi.
4. Upaya pencapai tujuan tinggi, suasana pemeliharaan kerja rendah.
Sedangkan pola kepemimpinan dilihat dari sudut waktu, dapat dibedakan menjadi dua macam gaya kepemimpinan, yaitu :
1. Gaya kepemimpinan permanent, yaitu merupakan gaya dasar yang sulit berubah
2. Gaya kepemimpinan situasional, yaitu gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan sewaktu-waktu. (Khusnuridlo dan Sulton, 2006: 40-41)
Berpijak dari beberapa model kepemimpinan tersebut diatas, dapat ditelisik bahwa efektifitas kepemimpinan gaya kepemimpinan ternyata juga sangat kondisional, sehingga dalam menerapkan salah satu gaya kepemimpinan dalam sebuah organisasi hasilnya tidak dapat dijamin untuk mencapai efektivitas dalam memimpin diperlukan faktor lain yang juga turut menentukan.
Selain harus dapat menentukan gaya yang sesuai dengan yang dipimpin juga perlu untuk mengenal prinsip-prinsip kepemimpinan. Dalam hal ini, Mar’at (1984: 75-86) mengajukan 11 prinsip kepemimpinan, yang meliputi : pertama, efisisensi secara teknis dan taktis. Kedua, kenalilah diri anda dan  carilah perbaikan diri sendiri. Ketiga, kenali anak buah dan pelihara kesejahteraannya. Keempat, berikan penerangan kepada anak buah. Kelima, berikan contoh. Keenam, jaminan bahwa tugas dimengerti, diawasi dan dilaksanakan. Ketuju, latihlah anak buah sebagai satu tim. Kedelapan, buat keputusan yang bernilai tepat pada waktunya. Kesembilan, kembangkan rasa tanggung jawab dikalangan bawah kesepuluh, pergunakan komando sesuai dengan kemampuannya. Kesebelas, carilah tanggung jawab dan bertanggung jawablah untuk tindakan anda.
Kesebelas prinsip tersebut pada dasarnya juga dapat membuahkan pengaruh yang selanjutnya menentukan derajat kepemimpinan seseorang. Pengaruh merupakan terpenting dari kepemimpinan. Karena itu persoalan kepemimpinan sangat terkait dengan masalah pengaruh. Persfektif tersebut melihat kepemimpinan sebagai pengaruh interpersonal, dipraktekkan dalam suatu situasi dan diarahkan melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan (Ma’rat, 1984: 12). Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa konsep pengaruh mengingatkan terdapatnya perbedaan tingkah laku individu yang mengakibatkan atau mempengaruhi aktivitas kelompok.
Dengan demikian pengaruh merupakan suatu transaksi sosial di mana seorang atau sekelompok orang digerakkan oleh seseorang atau sekelompok orang lain untuk melakukan kegiatan sesuai dengan harapan mereka yang mempengaruhi.
Dari definisi tersebut diatas, dapat dijelaskan bahwa kegiatan mempengaruhi berarti kegiatan menggerakkan orang lain agar mau mengikuti keinginan orang yang mempengaruhi. Adapun dalam proses mempengaruhi terdapat beberapa komponen yang tidak dapat dipisah-pisahkan, antara lain meliputi : (1) orang yang mempengaruhi (orang yang berpengaruh) (2) metode atau cara mempengaruhi (3) orang yang dipengaruhi.
Dalam menjalankan kepemimpinan (Anoraga, 2003 : 10) menjelaskan ada beberapa sifat yang berguna bagi seorang pemimpin adalah sebagai berikut :
1) Keinginan untuk menerima tanggung jawab.
Apabila seorang pemimpin menerima kewajiban untuk mencapai suatu tujuan, berarti ia bersedia untuk bertanggung jawab kepada pimpinannya terhadap apa yang dilakukan bawahannya. Di sini ia harus mampu mengatasi organisasi buruh. Hampir semua pimpinan merasa kepercayaan sangat menuntut waktu usaha dan pengetahuan agar bisa menjalankan secara efektif. Mereka merasa bahwa pekerjaannya lebih banyak menghabiskan energi daipada jabatan bukan pimpinan.
2) Kemampuan untuk bisa perceptive.
Persepsi menunjukkan kemampuan untuk mengamati atau menemukan kenyataan daripada suatu lingkungan. Setiap pemimpin haruslah mengenal perusahaannya sehingga mereka bisa bekerja untuk membantu mencapai tujuan tersebut. Disini memerlukan kemampuan untuk memahami bawahannya sehingga dapat mengetahui kekuatan-kekuatan mereka, kelemahan-kelemahan mereka juga berbagai ambisi mereka yang ada. Disamping itu juga harus mempunyai persepsi, introsfektif (memandang /menilai dirinya sendiri) sehingga ia bisa mengetahui kekuatan, kelemahan dan tujuan yang layak baginya.
3) Kemampuan untuk bersikap obyektif.
Obyektifitas adalah kemampuan untuk melihat suatu peristiwa atau masalah secara rasional, inpersonal dan tidak bias. Obyektifitas merupakan perluasan dari kemampuan percektive. Apabila percektive menimbulkan kepekaan terhadap fakta, kejadian dan kenyataan-kenyataan lain, obyektivitas membantu pimpinan untuk meminimkan faktor emosional dan pribadi yang mungkin mengaburkan realitas.
4) Kemampuan menentukan prioritas.
Seorang pemimpin yang pandai adalah seorang yang punya kemampuan untuk memilih atau menentukan mana yang penting dan mana yang tidak. Kemampuan ini diperlukan karena  adanya kenyataan sering masalah-masalah yang harus dipecahkan bukanlah datang satu persatu, tetapi bersamaan dan berkaitan antara satu dengan lainnya.
5) Kemampuan untuk berkomunikasi.
Kemampuan untuk memberikan dan menerima komunikasi merupakan keharusan bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang bekerja dengan menggunakan orang lain karena itu pemberian perintah, penyampaian informasi kepada orang lain mutlak perlu dikuasai.
Sedangkan besar kecilnya pengaruh tidak dapat dirasakan secara langsung oleh orang yang bersangkutan, akan tetapi dapat dirasakan para bawahan atau orang yang ada di sekelilingnya. Sehingga ada yang beranggapan bahwa pengaruh seorang pemimpin tersebut adalah potensi bawaan dari lahir, di lain pihak ada juga yang mengatakan bahwa pengaruh seseorang adalah hasil dari sebuah proses yang dapat dipelajari, dikaji, dan ditiru atau dilaksanakan oleh siapapun.
Disamping pengaruh gaya memimpin juga turut menentukan efektivitas kepemimpinan. Dalam beberapa literatur terdapat beragam gaya kepemimpinan atau model kepemimpinan, misalnya ; kepemimpinan kharismatik, kepemimpinan transformasional dan kultural, kepemimpinan path dan goal, dan sebagainya. Keefektifan perilaku kepemimpinan ini dapat juga dilihat dari gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimipin. Gaya kepemimpinan tersebut dapat diteropong dari beberapa sudut pandang, antara lain : (1) kekuasaan, (2) tingkah laku, (3) pandangan kedepan dan (4) dari sudut waktu. Dari sudut kekuasaan seorang pemimpin bisa berlaku otoriter, demokrasi, dan dan leissez faire. Sedangkan dari sudut pandang tingkah laku yang dilakukan seorang pemimpin terdapat enam tingkah laku gaya kepemimpinan, yaitu :
1. Menunjukkan masalah, alternative pemecahan masalah dan apa yang harus dilakukan kelompok.
2. Menjual keputusan dengan menyakinkan kelompok, bahwa keputusan itu paling baik dan harus dilaksanakan
3. Menguji kelompok melalui pelemparan masalah dan alternative pemecahan, sedangkan keputusan diambil setelah ada reaksi dari kelompok.
4. Berkonsultasi dengan kelompok dalam arti berpartisipasi dalam kerja kelompok
5. Menggabungkan diri dengan kelompok dalam arti berpartisipasi di dalam kerja kelompok.
6. Menyerahkan kepada kelompok kekuasaan untuk mengambil keputusan di dalam kerja kelompok.
Sedangkan pemimpin adalah seorang atau individu yang diberi status berdasarkan pilihan, keturunan atau cara-cara lain, sehingga memiliki otoritas atau kewenangan untuk melakukan serangkaian tindakan dalam mengatur, mengelola dan mengarahkan sekumpulan orang melalui institusi atau organisasi untuk mencapai tujuan (Halim, et.al, 2005: 77).
Dalam suatu organisasi terdapat fungsi manajemen yaitu planning, organization, actuating dan controling. Apabila salah satu unsur tersebut tidak dapat berjalan dengan baik, maka akan menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dalam semua aktivitasnya sehingga akan mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi. Untuk melaksanakan fungsi manajemen tersebut maka diperlukan seorang pemimpin yang baik. Seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai wewenang nutuk memerintah orang lain, yang di dalam pekerjaannya untuk mencapai tujuan organisasi memerlukan bantuan orang lain. Sebagai seorang pemimpin mempunyai peranan yang aktif dan senantiasa ikut campur tangan dalam segala masalah yang berkenaan dengan kebutuhan yang dipimpinnya. (Anoraga, 2003 : 1)
Dalam konteks ini, berarti bahwa pemimpin itu dilahirkan karena kebutuhan dalam suatu institusi atau organisasi tertentu. Sedangkan kepemimpinan merupakan aspek dinamis dari pemimpin, yaitu mengacu pada tindakan-tindakan atau perilaku yang ditampilkan dalam melakukan serangkaian pengelolaan, pengaturan dan pengarahan untuk mencapai tujuan.
Menurut para ahli (Anoraga 2003 :14)  ada lima unsur kepengikutan yang menunjukkan mengapa seorang atau sejumlah orang menjadi pengikut orang yang disebut pemimpin meliputi :
1. Kepengikutan berdasarkan naluri
2. Kepengikutan berdasarkan tradisi
3. Kepengikutan berdasarkan agama
4. Kepengikutan berdasarkan rasio
5. Kepengikutan berdasarkan peraturan
Kelima dasar kepengikutan di atas dalam kenyataannya selalu bervariasi. Maksudnya seseorang itu mengikuti seorang pemimpin tidak hanya berpedoman pada satu landasan seperti tersebut diatas, acapkali terdapat gabungan dari beberapa dasar. Sikap bervariasi seperti ini ada kaitannya dengan sikap subyektif anggota kelompok yang pada umumnya diwarnai pula dengan berbagai tambahan alasan sesuai pengalaman, pendidikan dan sebagainya. Sikap anggota kelompok yang bervariasi akan dapat kita lihat pengaruhnya, bila dihadapkan oleh persoalan-persoalan yang menyentuh kepentingannya.

2. Kepemimpinan Tuan Guru dalam memajukan Pondok Pesantren
Istilah “Tuan Guru” berasal dari bahasa sasak. Sasak sendiri merupakan rumpun bahasa daerah pulau Lombok. Jadi istlah ini merupakan gelar yang diberikan oleh seluruh elemen masyarakat Lombok kepada seseorang yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu keagamaan, tertama dalam bidang fiqih dan tafsir dan telah diakui kredibilitas keilmuannya. Atau kyai bagi masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan sebutan bagi masyarakat Jawa Barat (sunda) menyebutnya “Ajengan”, sedangkan di Aceh dikenal dengan sebutan “Tengku” (Isma’il, 1997 :62)
Sebutan Tuan Guru akan diperoleh bagi para ulama sesudah mereka menunaikan ibadah haji di Makkah dan tinggal beberapa tahun untuk memperdalam agama Islam. Ketika pulang, Tuan Guru mengajar penduduk di desa asal mereka. Pengaruh serta kemasyhuran Tuan Guru menanjah sejalan dengan bertambahnya jumlah murid-murid mereka. Ketika rumah mereka terasa terlalu kecil untuk menampung para siswa. Tuan Guru mendirikan tempat-tempat pengajaran yang lebih permanent, disebut pesantren, untuk mengakomodasi murid-murid mereka, selanjutnya aktifitas mengajar mereka pun pindah ke sana. Pesantren menyediakan akomodasi pemondokan bagi siswa yang berasal dari desa lain. Dengan adanya pondok itu maka pesantren menjadi dikenal dengan sebutan pondok pesantren, sedangkan para siswa yang tinggal di pesantren disebut Mondok. (Budiwanti, 2000: 291). Seorang yang menguasai ilmu penegetahuan agama Islam melalui mondok kesebuah pesantren tidak akan bisa di beri gelar dengan sebutan Tuan Guru sebelum memiliki murid dalam jumlah yang besar dan belum menunaikan ibadah haji, dan yang tidak kalah pentingnya juga diakui oleh masyarakat.
Dengan demikian predikat Tuan Guru besar akan diperoleh apabila terpenuhinya beberapa syarat, antar lain :
1. Keturunan. Biasanya Tuan Guru memiliki garis keturunan Tuan Guru atau orang-orang alim.
2. Pengetahuan agama. Seseorang tidak akan pernah memperoleh predikat Tuan Guru apabila tidak menguasai pengetahuan agama atau penguasaan terhadap kitab-kitab klasik (kitab-kitab gundul). Tentunya hal ini bisa diperoleh bila ia mondok di pesantren atau juga bermukim di Makkah.
3. Jumlah jamaah yang mengikuti pengajiannya, merupakan salah satu indikasi juga tentang kebesaran Tuan Guru apabila memiliki jamaah melampaui puluhan bahkan ratusan rinbu jamaah.
Keberadaan seoarang Tuan Guru sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari segi tugas dan fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan yang unik. Dikatakan unik, menurut Arifin, (1993: 45) Tuan Guru atau kyai sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekedar bertugas menyusun kurikulum, membuat peraturan tata tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus melaksanakan proses belajar mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya, melainkan bertugas pula sebagai Pembina dan pendidik umat serta menjadi pemimpin masyarakat.
Oleh karena itu, keberadaan Tuan Guru dalam tugas dan fungsinya menurut Sunyoto dalam (Arifin, 19993: 45) dituntut untuk memiliki kebijaksanaan dan wawasan, terampil dalam ilmu-ilmu agama, maupun menanamkan sikap dan pandangan serta wajib menjadi suri teladan pemimpin yang baik bahkan lebih jauh lagi Tuan Guru dianggap sebagai pewaris risalah Nabi. Malahan menurut peneliti terdahulu (Budiwanti, 2009: 296), diyakini oleh masyarakat Lombok bahwa Tuan Guru generasi awal banyak memiliki keramat atau karomah yaitu sesuatu kekuatan gaib yang diberikan oleh Tuhan kepada siapa yang dikehendaki-Nya (Mastuhu, 1993: 89).
Legitimasi kepemimpinan seorang Tuan Guru secara langsung diperoleh dari masyarakat yang menilai, bukan hanya dari keahlian ilmu-ilmu agama seorang Tuan Guru melainkan dinilai pula dari kewibawaan yang bersumber dari ilmu, kekaromahan, sifat pribadi dan juga dari keturunannya.
Sekalipun secara umum keberadaan Tuan Guru hanya dipandang sebagai pimpinan informal (informal leader), tetapi Tuan Guru dipercayai memiliki keunggulan baik secara moral maupun sebagai seorang alim. Pengaruh Tuan Guru sangat diperhitungkan, baik oleh pejabat oleh pejabat local maupun nasional serta masyarakat umum. Namun demikian pengaruh Tuan Guru tidak tergantung pada loyalitas komunitas terbatas yang didorong oleh perasaan hutang budi orang-orang desa atas jasa-jasanya, dan juga kedudukan mereka tidak pula tergantung pada dukungan keluarga mereka. Malahan dari kualitas kekharisma seorang Tuan Guru sepenuhnya pada gilirannya diyakini oleh masyarakat dapat memancarkan barokah bagi umat yang dipimpinnya, dimana muncul konsep barokah ini berkaitan dengan kapasitas seorang pemimpin yang dianggap memiliki karomah.
Terbentuknya pengaruh yang luar biasa atas keberadaan Tuan Guru sebagai pemimpin informal dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yang antara lain sebagaimana digambarkan Hugronje (Arifin: 1993: 46) “sedikit banyak mengontrol gudang rahmat Allah, doa-doa mereka membawa kebahagiaan atau laknat, kesembuhan atau penyakit. Bahkan tiupan nafas dari seseorang yang sering kitab suci dan menyempurnakan kewajiban-kewajiban ritual merupakan berkah bagi orang awam. “Yang kedua, menurut Mutahari sebagaimana dikutip Arofin (1993: 46) dilatarbelakangi oleh konsep kepemimpinan Islam yang disebut wilayatul-iman, menurut Al-Mawardi bermakna kepemimpinan sebagai pengganti kenabian dalam memelihara agama dan mengatur kehidupan umat serta menetapkan pada orang yang akan menegakkannya ditengah-tengah umat. Hal ini berarti kepemimpinan tidak saja sekedar dilandasi oleh kemampuan seseorang dalam mengatur dan menjalankan mekanisme kepemimpinannya, melainkan menganggap kepemimpinan lebih dilandasi oleh nilai spiritual yang memiliki otoritas keagamaan dimana imam (pemimpin) dijadikan model bagi yang lain.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa pola kepemimpinan Tuan Guru dapat menjadi sedemikian rupa sentralnya dalam kehidupan                  di pesantren, dimana kekuasaan mutlak berada di tangan Tuan Guru.
Dalam melihat kepemimpinan pesantren yang kharismatik dalam rangka modernisasi pendidikan pesantren, perlu diperhatikan pendapat Abdurrahman Wahid (1399: 168-169) yang memiliki kepemimpinan kharismatik yang dipakai dalam pesantren memiliki empat kerugian:
1. Munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena semua hal tergantung kepada keputusan pribadi sang pemimpin.
2. Sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu (termasuk calon pengganti yang kreatif) untuk mencoba pola-pola pengembangan yang sekiranya belum diterima oleh kepemimpinan yang ada.
3. Pola pergantian kepemimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan tidak terencana, sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami seperti meninggalnya sang pemimpin secara mendadak.
4. Terjadi pembauran dalam tingkat kepemimpinan di pesantren, antara tingkat lokal, regional dan nasional. Seorang pemimpin pesantren yang telah mencapai peningkatan pengaruh sebagai akibat meluasnya daerah asal yang dijangkau oleh pola pemasukan santri ke pesantrennya, seringkali tidak dapat mengimbangi peningkatan pengaruh itu dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup melintasi perbedaan tingkat-tingkat yang dihadapi.
Kesemuanya kerugian yang disebut di atas, lanjut Abdurrahman Wahid, tidak berarti harus dihilangkannya kepemimpinan kharismatik yang sudah berabad-abad berjalan di pesantren, melainkan menuntut penerapan pola kepemimpinan yang lebih direncanakan akan dipersiapkan sebelumnya. Kharismanya yang ada akan diperkuat dengan beberapa sifat baru yang akan mampu menghilangkan kerugian di atas. Prinsip utama yang digunakan adalah dictum yang sudah lama dikenal kalangan pesantren “Al-Muhafazhatu ‘alal qadimi shalih ma’al akhzi bil jadidil ashlah”.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pola kepemimpinan seorang Tuan Guru atau kyai sangat menentukan dalam seluruh program kegiatan pesantren, termasuk usaha dalam modernisasi sistem pendidikan pesantren. Dengan demikian data dikatakan bahwa Tuan Guru merupakan sentral kehidupan dan kunci terhadap keberhasilan dari seluruh program pesantren.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »