Manajemen Dakwah

Islam adalah agama dakwah, disebarluaskan dan diperkenalkan kepada umat manusia melalui aktivitas dakwah yang simpatik, dakwah tidak dijalankan dengan kekerasan, pemaksaan, aksi teror, lebih-lebih dengan kekuatan senjata. Islam tidak membenarkan para pemeluknya melakukan cara-cara yang bertentangan dengan etika dan moral, sehingga  orang lain mau memeluk agama Islam (Suparta, et al. 2003: 98). Shaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan “kedatangan syari’at Islam untuk membawa dan menyempurnakan kemaslahatan, menggugurkan atau mengurai kerusakan (Al-Qathani, 1994: 94).
Dakwah merupakan jalan utama (jihad fi sabilillah) untuk mewujudkan masyarakat Islam yang dicita-citakan melalui mengajak kepada kebaikan (ta’muru na bil ma’ruf), dan mengajak untuk beriman kepada Allah (tu’minuna billah), sehingga Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (Natsir, 1996: 130). Islam juga tidak membenarkan orang menghalangi kegiatan dakwah Islam sebab masuknya hidayah ke kalbu manusia merupakan hidayah dari Allah SWT. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S.16: 125 ).

Menurut Al-Ghazali, kata hikmah, mau’izhah, dan mujadalah merupakan tiga cara berdakwah dalam tiga kelompok yang berbeda. Masing-masing kelompok orang yang diajak ke jalan Allah SWT cocok dengan cara masing-masing, seperti jika hikmah diberikan kepada kelompok mau’izhah, maka sama seperti memberi anak yang masih menyusui dengan daging burung, begitu pun sebaliknya (Al-Ghazali, 2003: xiv). Agak berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd memahami ayat di atas dalam kaitannya menyeru ke jalan Allah, dengan hikmah diartikannya sebagai dakwah dengan pendekatan substansi yang mengarah pada filsafat. Nasihat yang baik berarti retorika yang efektif dan populer, dan dengan mujadalah yang lebih baik maksudnya adalah metode dialektis yang unggul.
 Muhammad Natsir dalam buku berjudul “Fiqhud Dakwah” menjabarkan beberapa makna kata hikmah, yaitu : 1) Hikmah, dalam arti mengenal golongan 2) Hikmah, dalam arti kemampuan memilih saat, bila harus bicara, harus diam 3) Hikmah, dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik pertemuan, sebagai  tempat bertolak, untuk maju secara sistematis 4) Hikmah, tidak melepaskan shibgah 5) Hikmah, memilih dan memutuskan kata yang tepat 6) Hikmah, dalam cara perpisahan 7) Hikmah, dengan arti uswah hasanah dan lisanul hal (Natsir, 1996: 161). Sejumlah pandangan diungkapkan para tokoh tersebut, merupakan dasar metodologi dakwah yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW., walaupun agak berbeda, namun bertemu pada satu kaidah bahwa setiap upaya menyeru atau membimbing manusia menuju ke arah yang baik.
Kemudian jika yang menjadi persoalannya sekarang, dengan dakwah yang sudah dilakukan apakah membawa hasil ataukah tidak? Itu terlepas dari urusan orang yang mengajak atau  peran seorang da’i, melainkan diserahkan semuanya kepada Allah sang pemberi hidayah (petunjuk), sebab keimanan merupakan persoalan internal mentalitas kejiwaan manusia yang tidak mungkin bisa didekati secara empiris. Sesungguhnya Allah-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuknya. Sebagaimana tersebut dalam surat an-Nahl di atas:
“Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S.16: 125)
Dakwah hanyalah usaha atas suatu kewajiban yang telah dipikulkan kepada umat manusia yang mengaku dirinya telah Islam (Abda, 1994: 31). Namun demikian, seorang mujahid dakwah atau da’i juga harus paham betul tentang tujuan dakwah sehingga usahanya benar-benar mengarah kepada tujuan yang telah ditetapkan yaitu mengajak umat manusia untuk menjalani serta mematuhi segala peraturan Tuhannya. Jika tujuan dakwahnya masih samar-samar, belum dipahami dan dikuasainya, maka ia (da’i) belum dapat merencanakan usaha-usahanya dan belum dapat mencari jalan atau metode untuk mencapai tujuannya, sehingga tidak ada jaminan bahwa dakwahnya akan berhasil. Oleh karenanya, da’i dalam konteks yang lebih luas adalah penanggung jawab administrasi, orientasi, metode, kitab dan pengajaran (Malaikah, 1997: 2). Para misionaris (pendakwah Kristen) sangat menekankan pentingnya informasi tentang medan dakwah. Jauh-jauh hari mereka sudah mencari data tentang jumlah tempat ibadah, jumlah tokoh agama, jumlah tempat penyelenggaraan kegiatan keagamaan, jumlah sekolah agama serta keadaan ketaatan beragama penduduk tempat kawasan dakwah. Selain itu, mereka mengkaji pula apa saja kebutuhan yang sangat mendasar dari orang-orang yang akan dijadikan sasaran dakwah. Dengan mengetahui kebutuhan-kebutuhan tersebut, kemudian mulai mengatur suatu strategi dan menyusun suatu perencanaan sebelum berangkat ke lokasi yang menjadi sasaran misinya. 
Ilustrasi di atas memberikan gambaran, bahwa untuk mewujudkan tujuan dakwah yang sempurna, maka unsur-unsur dakwah tak bisa diabaikan, berupa dana, da’i, materi, informasi, dan media sesuai dengan kerangka manajemen, yaitu melakukan rencana, pengaturan, pengarahan dan pengawasan sehingga terwujud menjadi sebuah sistem tujuan yang diinginkan dengan cara yang baik dan sistematis.
Mengambil makna dari media dalam unsur dakwah ini, maka pondok pesantren merupakan salah satu media yang dapat mengembangkan dakwah Islam. Pondok pesantren sebagai salah satu media dakwah menjadi wadah dalam pembentukan pribadi-pribadi da’i yang akan terjun langsung sekaligus sebagai tempat mengatur pola dakwah di lapangan.
Pondok pesantren (seterusnya disebut pesantren) merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang lahir dan tumbuh dikultur Indonesia yang bersifat indegenous (Sulaiman, 2010: 1). Hingga sekarang lembaga ini tetap eksis dan konsisten menunaikan fungsinya sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu agama Islam yang mampu melahirkan dan menyiapkan kader-kader pemimpin agama, juru dakwah sampai tenaga terampil untuk bidang kemasyarakatan lainnya.
Terlepas dari mempersoalkan kapan pesantren itu mulai ada, satu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa pesantren dengan segala kesederhanaannya menempati icon terdepan dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan pilar bangsa Indonesia secara luas di masa kini, baik segi ekonomi, sosial, budaya, politik, terutama dibidang agama. Di era globalisasi seperti saat ini, pengembangan pondok pesantren mulai diarahkan pada pendidikan modern yang memberikan bekal hidup (life skill) kepada santrinya. Sehingga pada saatnya, pesantren tidak saja melahirkan santri-santri yang memiliki keterampilan dalam bidang dakwah tetapi juga diharapkan mampu mengembangkan keterampilannya menjadi usaha yang dapat menciptakan pekerjaan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain (Lombok Post, 2010: 5). Tidak aneh bila ada anggapan bahwa para orientalis mulai menggeluti sosiologi pesantren untuk mencari titik yang dapat melemahkan kesinambungannya demi pengikisan Islam di Indonesia.
Keberadaan pesantren di Indonesia pada dasarnya diilhami juga dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah pada awal keberadaan Islam di negeri Arab. Adalah beliau menjadikan rumah al-Arqam bin Abil Arqam sebagai wadah mengembangkan dakwah. Oleh karena itu, pada dasarnya pendidikan Islam tidak bisa terlepas dari dakwah yang dilakukan, baik masa awal Islam atau saat ini. Namun dalam teks-teks klasik lebih dikenal model pembelajaran Rasulullah di rumah al-Arqam bin Abil Arqam dengan sebutan madrasah. Akan tetapi dalam perkembangannya madrasah adalah pesantren itu sendiri. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di rumah al-Arqam bin Abil Arqam tidak lain adalah untuk mencari dan menyiapkan formulasi dakwah di kalangan orang-orang kafir Qurays. Dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah tidak hanya sekedar menyeru orang kepada Islam begitu saja, tapi ada sebuah rencana dan tujuan yang ingin dicapai, dalam bahasa modern dikenal istilah “manajemen”.
Dewasa ini, manajemen dalam segala aspek kehidupan manusia menjadi hal yang amat penting dalam upaya menggapai suatu tujuan. Tidak terkecuali, untuk melaksanakan  kegiatan dakwah pun pentingnya manajemen tidak dapat dielakkan, karena pelaksanaan kegiatan dakwah hari ini dan masa akan datang tidak mungkin efektif lagi tanpa digerakkan oleh suatu badan atau organisasi dengan manajemen yang solid. Meskipun kegiatan dakwah digerakkan oleh organisasi non bisnis, namun aktivitasnya senantiasa terkait dengan penggunaan dana atau sumber-sumber materi lainnya yang perlu diatur pengrelolaannya secara tertib, teratur, dan benar (Kayo, 2007: 42).
Oleh karena itu, dakwah tidak lagi dimaknai dalam arti sempit seperti tabligh yang dilakoni dengan cara tradisional saja yaitu bahwa pelakasanaannya hanya bersifat rutinitas di masjid dalam bentuk interaksi antara da’i dengan jama’ah dalam waktu terbatas. Misalnya dari magrib hingga isya’ atau seusai melaksanakan sholat subuh dengan mengisi acara semacam kultum (kuliah tujuh menit) dengan sejumlah jama’ah relatif kecil dan metode penyampaiannya hanya monolog tanpa dialog. Kegiatan dakwah seperti itu memberi kesan seolah-olah dakwah itu hanya terbatas pada aspek penyampaian ajaran agama secara lisan tanpa ada tuntutan bagaimana seharusnya mengaplikasikan pesan-pesan tersebut di lapangan dalam bentuk yang kongkrit. Padahal, dakwah tidaklah sesempit itu, tugas dakwah sangat luas dan universal. Karena itu, dakwah perlu ditangani oleh tenaga-tenaga berilmu, berpengalaman, serta memiliki keterampilan dalam bidang manajemen, sebab seorang da’i selaku user atau orang berperan sebagai pelaku, yang mengatur jalannya aktivitas dakwah, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan secara profesional, yaitu dakwah dikemas dan dirancang sedemikian rupa agar gerak dakwah merupakan upaya nyata dalam usaha meningkatkan kualitas aqidah dan spiritual ummat. Dengan demikian, merubah sebuah situasi atau keadaan yang sebelumnya tidak baik menjadi yang lebih baik merupakan tujuan dakwah dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.

 1.      Pengertian Dakwah
Pengertian  dakwah berasal dari akar kata bahasa Arab  da’aa – yad’u – da’watan, berarti menyeru, memanggil, mengajak, menjamu. (Yunus, 127).  Ada pun contoh pengertian tersebut terdapat dalam surat Yusuf ayat 33, yang artinya : ”Yusuf berkata; Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku”. Dalam surat Yunus ayat 25 yang artinya; Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (syurga)”.  Dakwah dalam pengertian yang lebih khusus berarti mengajak baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain untuk berbuat baik sesuai ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah dan rasul-Nya serta meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tercela (terlarang)  oleh Allah dan rasul-Nya. Jadi, dakwah dalam pengertian khusus ini bisa berarti amar ma’ruf nahi munkar. Istilah-istilah yang memiliki maksud serupa dengan pengertian dakwah terdapat pada ayat-ayat lain dalam al-Qur’an, seperti berikut:
a.      Tabligh (menyampaikan), tersebut dalam surat al-Maidah ayat 67 :
Hai rasul. Sampaikanlah apa yang yang diturunkan kepadamu diri Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang kafir”.
b.      Mauidhoh (memberi pelajaran), tersebut dalam surat an-nahl ayat 125:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalann-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatpetunjuk”.
c.       Tadzikrah (peringatan), tersebut dalam surat al-Ghisyiah ayat 21:
”Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang-orang yang memberi peringatan”.
d.      Tabsyir dan tandzir (kabar gembira dan kabar ancaman), tersebut dalam surat al-Isra ayat 105:
Dan kami turunkan (Al-qur’an), itu dengan sebenar-benarnya dan al-qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenanaran. Dan kami tidak mengutus kamu melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan”.
e.       Washou (memberi wasiat), tersebut dalam surat al-Ashr ayat 3:
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
f.        Amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran), tersebut dalam surat at-taubah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf. Mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasulnya. Mereka itu akan diberi rahma oleh Allah. Sesungguhnya Allah maha perkasa lahi maha bijaksana”.

Adapun dakwah oleh para ahli diungkap secara bervariasi yaitu:
1.           Thoha Yahya Oemar, ”Pengertian Dakwah menurut Islam adalah “mengajak manusia dengan bijaksana ke jalan yang benar  sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat”. (Oemar, 1997: 1)
2.           Abu Bakar Atjeh, ”Beberapa cacatan mengenai Dakwah Islam”, mengatakan bahwa dakwah adalah seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik (Atjeh, 1979: 6).
3.           Amrullah Acmad, ”Dakwah itu secara garis besar ada dua. Pertama, dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran atau penerangan agama. Kedua. Dakwah adalah semua ikhtiar atau usaha manusia untuk merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia (Achmad, 1983: 6).
4.           Muhammadiyah:  “Dakwah adalah suatu proses pengkondisian agar objek dakwah lebih mengetahui, memahami, mengimani, dan mengamalkan Islam sebagai pandangan dan pedoman hidupnya”.
5.           Syeikh Ali Mahfudz dalam kitabnyanya ”Hidayuat al-Mursyidan”, ia mengatakan: dakwah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan munkar, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat” Mahfudz, 17).
6.           Dakwah menurut Islam : “ Menyeru manusia ke jalan Allah dengan cara   hikmah dan pelajaran yang baik dan mujadalah dengan cara yang baik. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk (Qs. 16.125).
Sejumlah pengertian di atas bermuara pada satu maksud bahwa, dakwah adalah kegiatan  penyampaian informasi Islam bertujuan mengajak untuk patuh dan taat  mengikuti segala aturan Allah SWT., di bumi agar manusia senantiasa meraih kebahagiaan di dunia maupun akhirat.
2.           Unsur-unsur Dakwah


a.       Subyek Dakwah
Subyek dakwah di sini adalah da’i yaitu seseorang sebagai pelaku dakwah atau komunikator. Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik secara lisan, tulisan maupun perbuatan, individu, kelompok, organisasi atau lembaga. Da’i sering disebut “muballigh” (orang yang menyampakan ajaran Islam). Seorang da’i selaku subyek dakwah adalah unsur terpenting yang menduduki peranan strategis, karena itu seorang da’i  harus memiliki multi kemampuan di antaranya: 1. Mendalami pengetahuan al-Qur'an dan Hadits,  pengetahuan hukum Islam lainnya. Sejarah nabi, ibadah, muamalah, akhlak, dan pengetahuan Islam lainnya. 2. Menggabungkan pengetahuan lama dan modern.  3. Menguasai bahasa setempat. 4 Mengetahui cara berdakwah, sistem pendidikan dan pengajaran, mengawasi dan mengarahkan 5 Berakhlak mulia. 6. Para da’i harus bijaksana, dan berpenampilan yang baik. 7. Para da’i haus panda’i memilih judul, dan menjauhkan yang membawa kepada keraguan.
8. Da’i adalah imam dan pemimpin.keutuhan pribadi dan dedikasi yang tinggi (http://uchinfamiliar.blogspot.com/2009/04/).
Macam-macam golongan da’i :
1)      Seorang da’i yang menyerukan agar ayat-ayat mutasyabihat itu di arahkan pengertiannya kepada kalimat ayatnya secara zahir saja, tanpa di takwilkan lagi. 2) Da’i yang prioritas dakwahnya menyampaikan penjelasan yang bertentangan dengan keterangan-keterangan yang telah disebutkan. Ia selalu mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Ia juga menggunakan akalnya secara berlebihan. 3) Da’i yang mempunyai pandangan yang agak moderat, bahwa Islam yang sejati itu tidak setuju, bahkan boleh harus memerangi terhadap segala kepercayaan tasawuf, baik yang benar maupun yang salah. 4) Da’i yang berkecimpung dibidang tasawuf yang membenarkan pendapat tokoh-tokoh sufi „wihdatul wujud“ (Panteisme). Ia berpendapat bahwa Allah menyatu dengan manusia dan alam. Aliran ini dipelopori oleh imam al-Hallaj, Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dan al-Afif at-Tilmisani. 5) Da’i yang tidak sependapat dengan „Wihdatul Wujud“, namun ia berpegang pada pendapat yang lebih membingungkan dan sangat membahayakan bagi keimanan orang awam. Ia berpendapat bahwa kekafiran masyarakat Quraisy itu yang sebenarnya adalah menunjukkan keimanan mereka kepada Allah. 6) Da’i yang melakukan dakwahnya dengan tujuan agar umat ini mau mengikuti salah satu thorekat yang dipeluknya, seperti Naqsabandiyah syari’at Islam itu hanyalah memanjangkan jenggot, memperbaiki sorban dan mengeluarkannya, serta senantiasa mengenakan jubah dan memanjangkan tasbih. Ada lagi seorang da’i yang mengajak orang lain untuk memeluk ajaran yang bathil, dengan kekafiran yang nyata, seperti aliran Ahmadiyah, Qodiyani, yang didukung oleh pemerintah Inggris. Golongan ini menganggap bahwa merekalah golongan Islam yang sejati  (Ath-Thontowi, 1992: 25).
Macam-macam golongan da’i tersebut, senantiasa bertentangan antara yang satu dengan lainnya. Mereka saling berselisih dan menyalahkan dalam hal penyampaikan pahamnya. Dalam konteks dakwah, hal ini sudah jelas berlawanan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.  padahal, prinsip dakwah yang sebenarnya hanya satu, menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, sebagai misi utama ajaran Islam. Adapun hal-hal berupa pendapat, paham, dan aliran, merupakan sesuatu yang bersifat furu’ (cabang) bukan tempat untuk diperdebatkan, mengingat yang menjadi obyek dakwah adalah kalangan yang berlatar belakang tidak sama, sehingga dapat membingungkan. Jama’ah.
b.      Obyek Dakwah
Obyek dakwah ialah sasaran, penerima, khalayak, jama’ah, pembaca, pendengar, pemirsa, audience, komunikan yang menerima dakwah Islam (Musthan, 2002: 113). Obyek dakwah adalah amat luas, ia adalah masyarakat yang beraneka ragam latar belakang dan kedudukannya. Baik yang beragama Islam atau di luar Islam. Obyek dakwah dapat diklasifikasikan  dalam beberapa kelas seperti berikut :
1.       Segi sosiologis; adalah masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan, masyarakat pinggiran, pegunungan dll.
2.       Segi struktur kelembagaan; ada pemerintah, keluarga, organisasi, instansi dan  sebagainya.
3.       Segi sosio kultur; ada golongan priyai, abangan dan santri.
4.       Segi tingkat usia; yaitu anak-anak, remaja, dewasa, orang tua
5.       Segi profesi; ada golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri.sipil (PNS)
6.       Segi status sosial; ada kelas ekonomi, kelompok kaya, kelompok miskin,     
7.       Segi jenis kelamin; pria, wanita, banci.
8.       lain-lain; tuna susila, tuna wisma, tuna karya, tuna daksa, tuna rungu, nara  pidana (H.M. Arifin, 1974: 13-14).
Dengan mengetahui klasifikasi obyek dakwah, memudahkan bagi da’i melakukan penyesuaian dalam penyampaian isi pesan dakwahnya, tergantung permasalahan kehidupan yang dihadapi masyarakat, sehingga dakwah dapat menyentuh langsung di hati obyek (sasaran) dakwah. Seperti misal,  Jika yang menjadi obyek dakwah adalah kebanyakan golongan petani, makai diberikan penjelasan bagaimana cara bertani yang baik sehingga hasil pertaniannya meningkat dan bagaimana peningkatan tersebut sekaligus merupakan bagian dari ibadahnya kepada Allah. Demikian pula bagi buruh, sehingga peningkatan mutu kerjanya sama dengan mutu ibadahnya. Hal ini akan mendorong mereka untuk lebih memahami bagaimana beribadah dengan baik akan membantu mereka untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Sudah barang tentu da’i yang bertugas di kalangan buruh atau petani atau lainnya haruslah mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai dunia buruh dan tani. Dalam hal ini, khutbah atau tabligh perlu disesuaikan degan persoalan buruh dan petani. Di samping itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih konkret seperti latihan keterampilan kerja, pemilihan bibit dan pupuk, sehingga mereka merasa diperhatikan. Tak lupa juga masalah bagaimana memasarkan hasil tani. Lapangan kerja apa saja yang sedang dibutuhkan dan dagang apa saja yang sedang laku dan seterusnya.

c.       Metode Dakwah
Salah satu faktor yang menyebabkan keberhasilan  suatu kegiatan dakwah adalah karena menggunakan metode yang efektif ditentukan. Metode ini adalah satu skema, satu rancangan bekerja untuk  menyusun satu macam masalah menjadi satu sistem pengetahuan (Rafi’udin dan Djalil, 1997: 38). Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata ”metodos” yang berarti cara atau jalan. Dengan demikian, metode berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang di tempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien (Syukir, 1983: 99). Tidak semua metode cocok untuk setiap sasaran dakwah untuk setiap sasaran yang akan dipengaruhi. Begitu pula dalam hal dakwah. Dalam hal ini Allah memberikan pedoman pokok dalam surat surat an-nahl ayat 125:

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Syeikh Muhammad Abduh dalam Muhammad Natsir memahami ayat al-Qur’an di atas yaitu, dalam garis besarnya umat yang dihadapi oleh seseorang pembawa dakwah atau da’i dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masing harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula:
  1. Ada golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka.
  2. Ada golonga awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil denagn mauidzatun hasanah, dengan anjuran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahaami.
  3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai pula bila dilayani seprti golongan awam, mereka suka membahas sesuatu, tidak hanya dalam batas tetentu, tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni denga bertukar pikiran, guna mendorong supaya berfikir, secara sehat, dan satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik (Natsir, 162).
Ada pun metode dakwah yang biasa dipergunakan oleh da’i yaitu:
  1. Metode ceramah, yaitu suatu teknik atau metode dakwah yang banyak di warnai oleh ciri karakteristik bicara oleh seorang da’i/muballigh pada suatu aktivitas dakwah. Ceramah bisa pula bersifat propaganda, kampanye, berpidato (rhetorika), khutbah, sambutan, mengajar dan sebaginya. Dalam ilmu komunikasi dikatakan rhetorika sebagai suatu seni bicara, ”the art of speech” (Inggris) atau ”de kunst der welspprekenheid” (Belanda).
  2. Metode tanya jawab, adalah penyampaian materi dakwah dengan cara mendorong sasarannya (obyek dakwah) untuk menyatakan sesuatu masalah yang dirasa belum mengerti, dan muballigh/da’inya berkapasitas sebagai pemberi jawaban. Metode ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat sesuai kebutuhannya. Sebab dengan bertanya berarti orang ingin mengerti dan dapat mengamalkannya. Oleh karena jawaban pertanyaan sangat diperlukan kejelasan dan pembahasan yang sedalam-dalamnya lagi pula jawaban selalu kongruen (sesuai) dengan maksud pertanyaannya.
  3. Debat, debat sebagai metode dakwah pada dasarnya mencari kemenangan, dalam arti menunjukkan kebenaran dan kehebatan Islam. Dengan kata lain debat adalah mempertahankan pendapat dan ideologinya agar pendapat dan ideologinya itu diakui kebenaran dan kehebatannya oleh musuh (orang lain). Dengan demikian berdebat efektif dilakukan sebagai metode dakwah hanya pada orang-orang (obyek dakwah) yang membantah akan kebenar  akan Islam.
  4. Percakapan antar pribadi (percakapan bebas), percakapan antar pribadi atau idifidual conference adalah perakapan bebas antara seseorang da’i atau muballligh dengan individu-individu sebagai sasaran dakwahnya. Percakapan pribadi bertujuan untuk menggunakan kesempatan yang baik di dalam percakapan atau mengobrol (ngomong bebas) untuk aktivitas dakwah.
  5. Metode Demonstrasi, berdakwah dengan cara memperlihatkan suatu contoh, baik berupa benda, peristiwa, perbuatan dan sebaginya dapat dinamakan bahwa seorang da’i yang bersangkutan menggunakan metode demonstrasi, di mana seorang da’i memperlihatkan sesuatu atau mementaskan sesuatu  terhadap sasarannya (obyek dakwah) dalam rangka mencapai tujuan dakwah.
  6. Metode dakwah Rasulullah, seorang seorang da’i internasional, pembawa agama Islam dari Tuhannya   (Allah) untuk seluruh alam. Beliau di dalam membawa misi agamanya menggunakan berbagai macam metode anntara lain : Dakwah di bawah tanah, dakwah secara terang-terangan, surat-menyurat, Politk pemerintah, dan Peperangan.  
  7. Pendidikan dan pengajaran agama. Pendidikan dan pengajaran dapat pula  sebagai metode dakwah, sebab dalam definisi dakwah telah disebutkan bahwa dakwah dapat diartikan dua sifat, yaitu sifat pembinaan (melestarikan dan membina agar tetap beriman) dan pengembangan (sasaran dakwah). Pendidikan agama sebagai metode dakwah pada dasarnya membina (melestarikan) fitrah anak yang dibawa sejak lahir, yakni fitrah beragama (perasaan bertuhan). Di mana bila fitrah itu tidak dilestarikan melalui pendidikan dikhawatirkan fitrah itu akan lentur menjadi atheis (tidak bertuhan). 
  8. Silaturrahim (mengunjungi), yaitu metode dakwah yang dirasa efektif dilakasanakan dalam rangka mengembangkan maupun membina umat Islam ialah metode dakwah dengan mengunjungi rumah obyek dakwah atau disebut metode silaturrahim atau home visit (Syukir, 104-160).
Rasulullah saw. memberi konsep agar dakwah hendaknya disampaikan kepada audien dengan memberikan kabar gembira bukan menekut-nakuti, meringankan tapi tidak memberatkan dan, memberikan kemudahan, alias tidak mempersulit.
d.       Materi Dakwah
Materi dakwah adalah pesan-pesan atau segala sesuatu yang harus disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, keseluruhan ajaran Islam, yang ada di dalam Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya, yang pada pokoknya mengandung tiga prinsip, yaitu:
Aqidah, yang menyangkut sistem keimanan/kepercayaan terhadap Allah swt. dan ini menjadi landasan yang fundamental dalam keseluruhan aktifitas seorang muslim, baik yang menyangkut sikap mental maupun sikap lakunya dan sifat-sifat yang dimiliki. Hal ini merupakan manifestasi masalah-masalah yang berkitan dengan keyakinan (keimanan) yang meliputi: Iman kepada Allah, iman kepada Malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, iman kepada Qadla dan qadar.
Syari’at, yaitu rangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas manusia muslim di dalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh, mana yang halal dan haram, mana yang mubah dan sebagainya,  dan ini juga menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minallah dan hablun minannas). Pembahasan yang termasuk dalam syari’ah meliputi : (a) ibadah,  (dalam arti khusus) yaitu: thaharah, sholat, zakat, puasa, haji.  (b) Mu’amalah, (dalam arti luas): a.). al-qanunul khas (hukum perdata): yaitu   munakahah (hukum nikah), waratsah (hukum waris). b).  al-qanunul ’am (hukum publik) yaitu: jinayah (hukum pidana), khalifah, hukum niaga, Jihad (hukum perang dan damai).
Akhlaq, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara vertikal dengan Allah. maupun secara horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk-makhluk Allah. Ada pun pembagian akhlak adalah: (a). akhlak terhadap khaliq (b). akhlaq terhadap mahluk, meliputi: akhlak terhadap manusia; (diri sendiri, tetangga, masyarakat). ahlak tehadap bukan manusia (flora, fauna, dan lain-lain).
Keseluruhan ajaran Islam menjadi materi dakwah, tidak ada lain adalah bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Oleh karena itu pengkajian, pendalaman, pengamalan materi dakwah menjadi sangat dominan bagi pelaksana dakwah (da’i).
e.        Logistik Dakwah
Unsur yang tidak kalah pentingnya dengan unsur-unsur lain dalam mencapai  tujuan dakwah adalah masalah logistik, yaitu menyangkut pembiayaan dan peralatan dakwah. Lebih-lebih dakwah di alam modern seperti saat ini yang menuntut pembiayaan cukup besar serta menuntut mulai diterapkannya teknologi canggih. Kalau dahulu dakwah barangkali cukup hanya dengan metode ceramah dan sistem pengajian di masjid yang relatif tidak memanfaatkan logistik banyak. Namun, dakwah di era sekarang melibatkan atau membutuhkan berbagai perangkat di dalam pelaksanaanya. Misalnya dakwah melalui forum resmi, panel diskusi, pementasan dan sebagainya.
 Sering logistik dakwah dianggap memada’i tapi karena pengorganisasiannya yang tidak betul maka logistik tersebut tidak banyak mendukung tercapainya tujuan dakwah (Abda, 54). Dengan pemanfaatan  logistik dakwah secara optimal membuat kegiatan dakwah dapat lebih efektif.


3.        Pengertian Manajemen Dakwah

Sebelum mengetahui arti manajemen dakwah, terdahulu perlu diuraikan apa itu manajemen, sehingga akan mengetahui proses dalam  manajemen dakwah. Kata manajemen merupakan adopsi dari bahasa asing yaitu ”management” yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan, dan pengelolaan. Luther Gulick, manajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerjasama. Dikatakan sebagai kiat oleh Follet karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain dalam menjalankan tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional dituntun oleh suatu kode etik. (Fattah, 2004: 1).
Manajemen menurut G.R Terry:
”Manajemen merupakan suatu proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan mengendalikan, yang dilakukan untuk menentukan serta untuk mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya” (Hasibuan, 1990:  2-3)
Jhon D. Millet dalam buku Management in the Public Service
”manajemen adalah proses pembimbingan dan pemberian fasilitas terhadap pekerjaan orang-orang yang terorganisir dalam kelompok formil untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki.” (Sukarna, 1992:  2).
Kedua konsepsi di atas dapat dipahami bahwa manajemen adalah suatu tindakan perbuatan seseorang yang berhak menyuruh orang lain mengerjakan sesuatu melalui usaha pertambatan fungsi-fungsi dalam proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian dan proses penggunaan sumber daya anggota lainnya untuk mencapai tujuan. Dalam proses manajemen terlibat fungsi-fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang pimpinan, yaitu; perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pemimpinan (Leading), dan pengawasan (Controlling). Oleh sebab itu, manajemen diartikan sebagai proses merencanakan, mengorganisasi, memimpin, dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien. (Fattah: 2).
Ada pun pengertian manajemen dakwah menurut Abdul Rosyad Saleh adalah sebagai proses perencanaan tugas, mengelompokkan tugas, menghimpun dan menempatkan tenaga-tenaga pelaksana dalam kelompok-kelompok tugas kemudian menggerakkan ke arah pencapaian tujuan dakwah” (Shaleh, 1987: 36).  Dengan demikian, dakwah tidak dipandang dalam objek ubudiyah saja, akan tetapi diinterpretasikan dalam berbagai profesi. Pemanfaatan manajemen dalam dakwah berfungsi pengaturan secara sistematis dan koordinatif dalam kegiatan atau aktifitas dakwah.sebagai alat untuk mengolah serta mengatur, agar tujuan dakwah yang dimulai dari sebelum pelaksanaan sampai akhir dari kegiatan dakwah.
4          Unsur-unsur manajemen Dakwah
 a . Perencanaan dakwah
Setiap usaha, apapun tujuannya hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika sebelumnya sudah dipersiapkan dan direncanakan terlebih dahulu dengan matang.  Menurut Mulyasa:
“Setiap usaha, apapun tujuannya hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika sebelumnya sudah dipersiapkan dan direncanakan terlebih dahulu dengan matang. Mulyasa mengemukakan bahwa, ”perencanaan merupakan proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang.” ( Mulyasa, 1990: 20).
Sedangkan menurut G.R Terry,
”Perencanaan ialah pemilihan dan penghubungan fakta-fakta serta perbuatan dan penggunaan perkiraan-perkiraan/asumsi-asumsi untuk masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. ” (Sukarna: 10)
Dalam organisasi dakwah, merencanakan disini menyangkut merumuskan sasaran atau tujuan dari organisasi dakwah. Dengan perencanaan, penyelenggaraan dakwah dapat berjalan secara terarah dan teratur rapi. Hal ini disebabkan adanya pemikiran secara seksama dan matang mengenai hal-hal apa yang harus dilaksanakan dan bagaimana cara melakukannya dalam penyelenggaraan dakwah itu, maka dapatlah dipertimbangkan kegiatan-kegiatan apa yang harus mendapatkan prioritas dan didahulukan dan mana kegiatan-kegiatan yang harus dijalankan setelah prioritas pertama. Dengan dasar-dasar inilah kegiatan-kegiatan dakwah itu dapat diurut dan diatur sedemikian rupa, tahap demi tahap yang mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Disamping itu perencanaan juga memungkinkan dipilihnya tindakan-tindakan yang tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi yang benar-benar dihadapi pada saat dakwah diselenggarakan (Shaleh, 89). Hal ini dapat terjadi disebabkan perencanaan mendorong pimpinan dakwah untuk terlebih dahulu membuat perkiraan dan perhitungan mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi dan dihadapi berdasarkan hasil pengamatan atau penelitian dan penganalisaannya terhadap situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian, maka kegiatan-kegiatan dakwah yang diselenggarakan benar-benar dapat mencapai sasaran-sasaran yang dikehendaki.
Selanjutnya dengan adanya perencanaan, kemudian dapatlah dipersiapkan terlebih dahulu tenaga-tenaga pelaksana dakwah yang diperlukan, begitu pula alat-alat perlengkapan dan fasilitas lainnya. Jika seanda’inya dalam kondisi tertentu dimana terdapat hal-hal yang belum dipersiapkan, seperti alat-alat perlengkapan dan fasilitas lainnya, maka paling tidak sudah dapat disadari adanya kekurangan-kekurangan itu, sehingga dalam proses penyelenggaraan dakwah dapat pula dilakukan usaha-usaha untuk mencukupi kekurangan-kekurangan itu. Misalnya dengan mengadakan usaha-usaha mengembangkan kemampuan tenaga-tenaga yang ada, mencari sumber-sumber dana baru untuk mencukupi kebutuhan dan sebagainya. Namun jika usaha-usaha membina potensi tenaga dan dana pada akhirnya diprediksikan tidak berhasil juga, maka perencanaan yang sebelumnya telah disusun itu dapat diadakan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian seperlunya, sehingga dalam keadaan bagaimanapun proses dakwah tetap dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Suatu hal yang perlu disadari, bahwa suatu rencana itu tidaklah bersifat kaku, melainkan bersifat fleksibel (Shaleh, 63).
Fungsi perencanaan lainnya bagi proses dakwah adalah untuk memudahkan pimpinan dakwah dalam melakukan pengawasan dan penilaian terhadap penyelenggaraan dakwah, baik yang sedang dalam proses, maupun yang sudah selesai. Suatu proses dakwah dikatakan dapat berjalan dengan baik jika penyelenggaraannya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Sebaliknya suatu proses dakwah dikatakan tidak dan kurang berhasil, jika penyelenggaraannya tidak sesuai atau menyimpang dari rencana yang telah disusun.
1.       Langkah-langkah Perencanaan Dakwah
Perencanaan dakwah merupakan proses pemikiran dan pengambilan keputusan yang matang dan sistematis mengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka penyelenggaraan dakwah. Pemikiran dan pengambilan keputusan mengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukan itu didasarkan pada hasil perkiraan dan perhitungan yang matang setelah terlebih dahulu dilakukan penelitian dan analisa terhadap kenyataan dan keterangan-keterangan yang konkrit. Adapun yang harus dipikirkan dan diputuskan oleh pimpinan dakwah dalam rangka perencanaan dakwah itu mencakup segi-segi yang sangat luas. Segi-segi perencanaan dakwah itu meliputi penentuan dan perumusan nilai-nilai yang diharapkan dapat diperoleh dalam rangka pencapaian tujuan dakwah; penentuan langkah-langkah; dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan agar nilai-nilai yang diharapkan itu benar-benar dapat dicapai; penentuan prioritas dan urutan tindakan menurut tingkat kepentingannya; penentuan metode dan prosedur yang tepat bagi pelaksanaan langkah-langkah itu; penentuan waktu yang diperlukan; penentuan tempat dan lokasi; dimana langkah-langkah atau kegiatan itu akan dilaksanakan serta penentuan biaya, fasilitas dan factor-faktor lain yang diperlukan bagi penyelenggaraan dakwah (Shaleh, 69)
Berdasarkan uraian di atas, maka pembahasan terhadap proses perencanaan dakwah akan meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
a)Perkiraan dan perhitungan masa depan (forecasting),
b)      Penentuan dan perumusan sasaran dalam rangka pencapaian tujuan dakwah yang telah ditetapkan sebelumnya,
c)Penetapan tindakan-tindakan dakwah dan prioritas pelaksanaannya,
d)     Penetapan metode,
e)Penetapan dan penjadwalan waktu (schedulling),
f)    Penempatan lokasi (tempat),
g)      Penetapan biaya, fasilitas dan faktor-faktor lain yang diperlukan (budgetting). (Shaleh, 64-65).
2.       Perkiraan dan perhitungan masa depan (forecasting)
Perencanaan dakwah berarti tindakan pengambilan keputusan yang dilakukan sekarang untuk penyelenggaraan dakwah di masa mendatang (Shaleh, 65) Hal ini disebabkan karena masa depan merupakan suatu keadaan yang belum dikenal atau ketidak pastian untuk diterka.
Dalam proses melaksanakan fungsi perencanaan dakwah, maka pimpinan dakwah harus terlebih dahulu mencari dasar yang tetap dan kokoh, atas dasar mana perencanaan dakwah akan dilaksanakan. Ini dilaksanakannya dengan jalan forecasting, yaitu tindakan memperkirakan dan memperhitungkan segala kemungkinan dan kejadian yang akan terjadi dan dihadapi di masa datang berdasarkan hasil analisa terhadap data dan keterangan-keterangan yang konkrit.
Dengan adanya forecasting, maka dapat diketahui gambaran mengenai keadaan masa depan, baik gambaran tentang kondisi maupun situasi obyektif yang terdapat dalam lingkungan proses penyelenggaraan dakwah, sehingga pimpinan dakwah dapat menetapkan sasaran-sasaran dan langkah-langkah dakwah yang rasionil dan realistis. Maka dari itu tindakan forecasting mempunyai arti yang sangat penting bagi proses perencanaan dakwah.
Perencanaan dakwah yang tidak didahului dengan perkiraan dan perhitungan masa depan, akan merupakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan dengan untung-untungan. Jika perencanaan dakwah dilakukan secara tidak didahului dengan perkiraan dan perhitungan masa depan, maka dikhawatirkah hasilnya kurang optimal, hal ini disebabkan lebih banyaknya penyusunan daftar keinginan yang sukar dilaksanakan.
Penyelenggaraan dakwah yang ideal adalah dengan adanya kemampuan untuk memperhitungkan dan memperkirakan kondisi subyek dakwah beserta dengan sarana-sarana yang diperlukan pada waktu mendatang, sehingga penyusunan perencanaan dakwah dapat berjalan secara efektif. Adanya kecermatan dalam mengidentikkan iklim sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya juga  sangat diperlukan untuk memperhitungkan dan memperkirakan perencanaan dakwah, karena hal itu mempunyai pengaruh bagi pelaksanaan dakwah pada waktu yang akan datang.
Dalam tindakan forecasting diperlukan data yang cukup mengenai berbagai segi yang ada sangkut pautnya dengan penyelenggaraan dakwah, sehingga perencanaan dakwah dapat disusun dengan tepat dan efektif. Untuk memperoleh data yang akurat diperlukan adanya kegiatan pengumpulan data (data collecting) dengan jalan menyelenggarakan research atau penelitian agar penyusunan rencana tidak didasarkan pada dugaan-dugaan dan pengalaman masa lampau saja.
3.       Segi-segi Fore Casting Dakwah
Sesuai dengan luasnya scope dakwah yang mencakup dan memasuki segenap aspek kehidupan, maka kejadian dan kemungkinan yang diperkirakan dan diperhitungkan akan timbul dan terjadi di masa depan itu pun mencakup berbagai segi pula. Segi-segi atau hal-hal yang akan berpengaruh bagi penyelenggaraan dakwah itu sifatnya luas sekali. Ada yang bersifat intern, yaitu yang terdapat dalam tubuh subyek atau penyelenggara dakwah sendiri. Selain intern, ada yang bersifat ekstern, yaitu hal-hal yang terdapat di luar tubuh subyek atau penyelenggara dakwah. Hal-hal itu ada yang bersifat positif, yaitu mendorong dan membantu penyelenggara dakwah, dan ada pula yang bersifat negative, yaitu yang merupakan penghalang dan penghambat bagi kelancaran jalannya proses dakwah. Di samping itu segi-segi atau hal-hal yang punya pengaruh bagi proses dakwah itu ada yang dapat dirasakan, tetapi ada juga yang tidak. Ada yang mempunyai pengaruh yang dominan, tapi ada juga yang tidak (Sukirin: 74)
Segi-segi atau hal-hal yang diperkirakan akan mempunyai pengaruh bagi penyelenggaraan dakwah di masa depan itu adalah meliputi : kondisi intern dan situasi ekstern.
Kondisi Intern
Pelaksanaan rencana dakwah di masa depan pada akhirnya ditentukan oleh subyek atau penyelenggara dakwah itu sendiri. Perencanaan dakwah yang telah berhasil disusun dengan sistemasi yang tepat, jika tidak diselenggarakan dengan baik, maka rencana itu hanya akan baik di atas kertas saja (Shaleh, 69). Maka dari itu, sebelum pimpinan dakwah menetapkan sasaran serta langkah-langkah untuk mencapai tujuan dakwah, diperlukan gambaran tentang keadaan subyek atau penyelenggara dakwah. Adapun gambaran-gambaran itu mencakup masalah bagaimana keadaan organisasi, tenaga pelaksana, persedian fasilitas dan sarana-sarana lainnya yang diperlukan, sehingga dapatlah disusun rencana dakwah yang realistis. Kondisi intern merupakan faktor pembatas bagi penyusunan rencana dakwah dan pelaksanaannya. Jika dapat diperkirakan bahwa pada masa mendatang organisasi tersusun rapi dan cukup tersedia sumber potensi tenaga dan fasilitas, maka dapatlah disusun dan di atur suatu rencana dakwah yang luas. Akan tetapi, jika ada perkiraan bahwa tersedianya sumber-sumber potensi di masa depan dalam keadaan terbatas, maka dapatlah disusun rencana dakwah yang sepadan dengan kondisi intern atau kekuatan dan kemampuan yang ada itu.
Kondisi Ekstern
                  Dalam perencanaan dakwah, pimpinan dakwah harus mampu memperkirakan dan memperhitungkan bagaimana suasana dan situasi yang akan dihadapi pada masa mendatang, pada saat mana rencana dakwah yang akan disusun itu benar-benar dilaksanakan. Suasana dan situasi yang mempunyai pengaruh bagi penyelenggaraan dakwah itu meliputi bidang-bidang, seperti politik, sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya. Situasi dalam bidang-bidang tersebut harus dapat diidentifikasikan dan diantisipasikan, agar perencanaan dakwah yang akan disusun benar-benar realistis. (Shaleh, 71). Sebab bidang-bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi proses penyelenggaraan dakwah, padahal dakwah itu juga bermakna mengadakan perubahan dan perbaikan terhadap bidang-bidang tersebut agar berkembang sesuai dengan ajaran Islam, seakan-akan terdapat sesuatu yang sifatnya controversial di antara ke duanya. Bagaimana bidang-bidang atau sektor-sektor kehidupan, yaitu politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan yang oleh proses dakwah sendiri ingin dirubah ke arah tujuan dakwah, tetapi sekaligus sektor-sektor tersebut juga mempengaruhi proses penyelenggaraan dakwah. Maka perencanaan dakwah itu akan efektif jika dalam penyusunannya senantiasa diperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi dalam bidang-bidang tersebut. Dengan kata lain, rencana dakwah yang efektif adalah merupakan resultante dari proses saling mempengaruhi antara idea-idea dakwah dengan situasi yang akan dihadapi oleh proses dakwah. (Shaleh, 72)


b.        Pengorganisasian dakwah
Pengorganisasian adalah fungsi manajemen dan merupakan suatu proses yang dinamis, sedangkan organisasi merupakan alat atau wadah yang statis. Pengorganisasian dapat diartikan penentuan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan, pengelompokkan tugas-tugas dan membagi-bagikan pekerjaan kepada setiap karyawan, penetapan departemen-departemen (subsistem) serta penentuan hubungan-hubungan. Organizing berasal dari kata organize yang berarti menciptakan struktur dengan bagian-bagian yang terintegrasikan sedemikian rupa, sehingga hubungannya satu sama lain terikat oleh hubungan terhadap keseluruhannya.
”Menurut Malayu, ”Pengorganisasian adalah suatu proses penentuan, pengelompokkan, dan pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitas ini, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menempatkan wewenang yang secara relatif didelegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut” (Hasibuan: 118-119).
”Menurut G.R Terry, ”Penggorganisasian merupakan tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerjasama secara efisien dan dengan demikian memperoleh kepuasan pribadi dalam hal melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran”.
Sementara,  Harold Koontz dan Cyril O’Donnell
”Fungsi pengorganisasian dari pada manager meliputi penentuan, penghitungan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan, pengelompokkan kegiatan-kegiatan, penempatyan kelompok kegiatan-kegiatan termaksud ke dalam suatu bagian yang dikepalai oleh seorang manager, serta pelimpahan wewenang untuk melaksanakannya.” (Sukarna, 38-39).
Pengorganisasian mempunyai arti penting bagi proses dakwah, sebab dengan pengorganisasian, maka rencana dakwah menjadi lebih mudah pelaksanaannya, hal ini disebabkan banyak sekali kebutuhan dalam kehidupan manusia yang tidak dapat dipenuhi dengan usaha sendiri, melainkan memerlukan kerja dan usaha bersama-sama dengan orang lain, demikian halnya dengan proses dakwah.
Pengorganisasian dakwah dapat dirumuskan sebagai “rangkaian aktivitas menyusun suatu kerangka yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan usaha dakwah dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan yang harus dilaksanakan serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja diantara satuan-satuan organisasi atau petugasnya” (Gie: 1972, 292-293).
Pengorganisasian dalam dakwah meliputi tiga hal, yaitu Taujih (pengarahan), tauzhif (penugasan) dan tashnif (pengklasifikasian) (Ali: 1995, 214). Selanjunya dengan pengorganisasian, dimana kegiatan-kegiatan dakwah diperinci sedemikian rupa, akan memudahkan bagi pemilihan tenaga-tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam dakwah, serta sarana atau alat-alat yang dibutuhkan. Dengan demikian, pemerincian tugas merupakan penunjuk untuk menentukan tenaga pelaksana  dakwah dan sarana atau alat-alat yang diperlukan.
Pengorganisasian yang mengandung koordinasi, akan mendatangkan keuntungan pula berupa terpadunya berbagai kemampuan dan keahlian dari pelaksana dakwah dalam satu kerangka kerjasama dakwah, yang kesemuanya diarahkan pada sasaran yang telah ditentukan. Akhirnya dengan pengorganisasian, dimana masing-masing pelaksana menjalankan tugasnya pada kesatuan- kesatuan kerja yang telah ditentukan serta masing-masing dengan wewenang yang telah ditntukan pula, akan memudahkan pimpinan dakwah dalam mengendalikan dan mengevaluasi penyelenggaraan dakwah. Manakala dakwah dilakukan tanpa organisasi yang rapi, maka resikonya adalah pengeluaran tenaga dan biaya yang demikian tingginya tanpa menghasilkan suatu prestasi dakwah sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itulah di perlukan langkah-langkah pengorganisasian dakwah sebagai berikut:
1)      Membagi dan menggolongkan tindakan- tindakan dakwah dalam kesatuan- kesatuan tertentu
2)      Menentukan dan merumuskan tugas dari masing- masing kesatuan, serta menempatkan pelaksana atau da’i untuk melaksanakan tugas tersebut
3)      Memberikan wewenang kepada masing- masing pelaksana
4)      Menetapkan jalinan hubungan.
Dalam rangka pemerincian kegiatan- kegiatan dakwah, terlebih dahulu haruslah ditegaskan fungsi- fungsi apa saja yang harus diadakan sehubungan dengan sasaran dan kegiatan- kegiatan dakwah yang telah ditentukan itu. fungsi- fungsi itu meliputi:
a.       Pendalaman ajaran Islam
b.      Peningkatan kehidupan dalam aspek pendidikan
c.       Peningkatan kehidupan dalam aspek sosial
d.      Peningkatan kehidupan dalam aspek ekonomi
e.       Peningkatan kehidupan dalam aspek ilmu pengetahuan dan kebudayaan
f.       Penelitian terhadap perkemangan masyarakat dan penanggulangan terhadap pengaruh- pengaruh negatif yang merusak
Berdasarkan uraian diatas, maka penyelenggaraan dakwah dapat dibentuk kesatuan- kesatuan tugas sebagai berikut:
  1. Kesatuan tugas pendalaman ajaran Islam
  2. Kesatuan tugas peningkatan kehidupan dalam aspek pendidikan
  3. Kesatuan tugas peningkatan kehidupan dalam aspek sosial
  4. Kesatuan tugas peningkatan kehidupan dalam aspek ekonomi
  5. Kesatuan tugas peningkatan kehidupan dalam aspek ilmu pengetahuan dan kebudayaan
  6. Kesatuan tugas penerbitan dan pustaka
  7. Kesatuan penelitian perkembangan masyarakat
  8. Kesatuan tugas ketata-usahaan
  9. Kesatuan tugas pengadaan beaya dan fasilitas
  10. Kesatuan tugas penyiapan dan penyediaan tenaga
Tugas para da’i adalah merancang sebuah struktur organisasi yang memugkinkan mereka urtuk  mengerjakan program dakwah secara efektif dan efisien untuk mencapai sasarn-sasaran dan tujuan-tujuan organaisasi (Munir dan Wahyu Ilahi,  2006: 118).

c.          Pengawasan dakwah
Kata control dalam bahasa Indonesia terjemahannya belum sama, ada yang menterjemahkannya dengan kata pengawasan ada pula dengan kata pengendalian.
”Pengawasan atau pengendalian dapat diartikan sebagai upaya untuk mengamati secara sistematis dan berkesinambungan; merekam; memberi penjelasan, petunjuk, pembinaan dan meluruskan berbagai hal yang kurang tepat; serta memperbaiki kesalahan. Pengawasan, merupakan kunci keberhasilan dalam keseluruhan proses manajemen, perlu dilihat secara komprehensif, terpadu, dan tidak terbatas pada hal-hal tertentu”. (Mulyasa :  21).
Manurut G.R Terry,
”Pengendalian dapat didefinisikan sebagai proses penentuan, apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.”
Sedangkan menurut Murdick,
”Bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi. Proses dasarnya terdiri dari tiga tahap; (1) menetapkan standar pelaksana; (2) pengukuran pelaksanaan pekerjaan dibandingkan dengan standar; (3) menentukan kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar dan rencana”. (Hasibun:   242)
Pengawasan atau pengendalian dakwah membantu para da’i ’ untuk memonitior keefektifan aktifitas perencanaan dan pengorganisasian dakwah. Pengorganisasian dakwah juga dimaksudkan untuk mencapai suatu aktivitas dakwah yang optimal (Munir dan Wahyu Ilahi, 169). Jadi, Pengendalian dalam dakwah adalah berfungsi : 1) adanya standar sebagai ukuran dari hasil kerja dakwah yang dijalankan. 2). Adanya pemeriksaan dan penelitian terhadap tugas dakwah.
e.        Evaluasi dakwah
Penyelenggaraan dakwah dikatakan dapat berjalan dengan baik dan efektif, bilamana tugas-tugas dakwah yang telah diserahkan kepada para pelaksana itu benar-benar dilaksanakan serta pelaksanaannya sesuai dengan rencana dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Untuk mengetahui apakah tugas-tugas dakwah dilaksanakan oleh para pelaksana, bagaimana tugas itu dilaksanakan, sudah sampai sejauh mana pelaksanaannya, apakah tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan, dan sebagainya, maka di perlukan adanya evaluasi kegiatan dakwah, untuk itu pengevaluasian terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1.       Menetapkan standart (alat ukur)
Langkah pertama dalam proses pengevaluasian kegiatan dakwah adalah menetapkan standart atau alat pengukur. Dengan alat pengukur itu barulah dapat dikatakan apakah tugas dakwah yang telah ditentukan dapat berjalan dengan baik, atau dapat berjalan tetapi kurang berhasil, atau samasekali mengalami kegagalan total dan sebagainya. Standart atau alat pengukur ini berbentuk: ukuran kwalitas, yang berarti mengulkur pekerjaan dari segi mutunya. Ukuran kwantitas, yang berarti mengukur hasil pekerjaan dari segi jumlahnya. Ukuran waktu, yang berarti mengukur hasil pekerjaan dari segi waktu yang dipergunakan. Ukuran biaya, yang berarti mengukur hasil pekerjaan dari segi seberapa besar biaya  yang di perlukan untuk menyelesaikan proses dakwah tersebut. Untuk menetapkan standart ini akan jadi tidak terlalu sulit jika tugas yang hendak dibuat standartnya itu menyangkut tugas-ugas yang konkrit, seperti membangun masjid, mushalla, langgar dan sebagainya. Namun menetapkan standart ini akan jadi sulit jika tugas yang hendak dibuat standartnya itu menyangkut hal-hal yang sifatnya abstrak, seperti misalnya kwalitas ke-islaman dari masyarakat yang diinginkan, kwalitas kemampuan kecerdasan dari anak-anak didik, dan sebagainya

2.       Mengadakan pemeriksaan dan penelitian terhadap pelaksanaan tugas dakwah
Langkah kedua dari proses evaluasi dakwah adalah mengadakan pemeriksaan dan penelitian terhadap pelaksanaan tugas dakwah yang telah ditetapkan. Dalam fase ini, diadakan pemeriksaan dan penelitian bagaimana dan sejauh mana rencana yang telah ditetapkan itu berhasil dapat dilaksanakan. Hal ini dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu:
a.      peninjauan prbadi (personal observation)
Peninjauan pribadi dilakukan dengan jalan pimpinan dakwah secara langsug datang dan melihat sendiri pelaksanaan rencana yang telah ditentukan. Dalam peninjauan pribadi ini segenap faktor yang mempengaruhi jalannya tugas pekerjaan dapat dilihat dan dinilai sendiri oleh pimpinan dakwah, termasuk misalnya sikap para pelaksana, interaksi antara petugas yang satu dengan yang lain, dan sebagainya. Dengan jalan ini, pimpinan dakwah dapat memperoleh gambaran secara lengkap dan menyeluruh tentang jalannya dakwah. Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa peninjauan secara langsung itu merupakan cara yang sebaik-baiknya.
b.      Laporan secara lisan (oral reports)
Menyerupai cara pertama adalah pemeriksaan dan penelitian kegiatan dengan laporan secara lisan. Penggunaan cara ini dilakukan dengan jalan para pelaksana didatangkan untuk memberikan laporan langsung secara lisan. Meskipun cara ini tidak sebaik cara pertama, namun dengan laporan secara lisan, pipmpinan dakwah dapat mengajukan perso’alan- perso’alan mengenai latar belakang pelksanaan tugas itu, dan sebagainya.
c.       Laporan tertulis (written reports)
Penggunaan cara ini dilakukan dengan jalan para pelaksana menyampaikan laporannya secara tertulis kepada pihak pimpinan, mengenai pelaksanaan tugas yang diserahkan kepadanya. Dengan laporan tersebut pihak pimpinan dapat mengadakan pemeriksaan, penelitian, dan penilaian mengenai pelaksanaan tugas-tugasdakwah yang telah diserahkan kepada para pelaksana. Dengan demikian laporan tersebut sekaligus juga merupakan pertanggungjawaban para pelaksana kepada pimpinannya mengenai seberapa jauh mereka berhasil untuk dapat melaksanakan tugas yang telah diserahkan kepadanya.
d.      Laporan dengan penelitian terhadap hal-hal yang bersifat istimewa atau perkecualian (principle of exception)
Pemeriksaan dan penelitian dengan cara ini dilakukan dengan jalan pimpinan dakwah mengarahkan perhatiannya terhadap pengecualian atau keistimewaan yang terjad. Untuk ini pimpinan harus menetapkan terlebih dahulu target-target yang harus dicapai. Sepanjang keguatan-kegiatan berjalan menurut rencana, maka tidak banyak pehatian diarahkan ke situ. Tetapi bila terjadi penyimpangan, seperti kemunduran dan sebagainya, segeralah diadakan pemeriksaan dan penelitian, mengapa sampai terjadi penyimpanganitu. Dengan cara ini maka pengendalian dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Sebab perhatian sejak semula memang diarahkan pada kemungkinan terjadinya penyimpangan itu.
Dalam rangka memilih cara mana yang sesuai dengan penyelenggaraan dakwah, kiranya kombinasi dari cara-cara tersebut sangat bermanfa’at. Di samping kadang-kadang pimpinan dakwah mengadakan peninjauan langsung, juga meminta kedatangan para pelaksana dan laporan tertulisnya.
      3.  Membandingkan antara pelaksana tugas dengan standart
Setelah pimpinan dakwah memperoleh informasi selengkapnya mengenai pelaksanaan tugas dakwah dan hasilnya, maka langkah berikutnya adalah membandingkan antara pelaksanaan tugas dakwah dan hasil senyatanya dengan standart yang telah ditetapkan. Dari hasil perbandingan antara hasil senyatanya dengan hasil yang seharusnya dicapai, dapatlah diadakan penilaian, apakah proses dakwah berjalan dengan baik atau sebaliknya. Apabila ternyata proses dakwah berjalan dengan baik, artinya pelaksanaan tugas berjalan sesuai dengan rencana dan hasilnya dapat mencapai atau mendekati target-target yang telah ditetapkan, maka tidaklah perlu dicurahkan perhatian kesitu. Tetapi apabila ternyata pelaksanaan tugas tidak sesuai rencana. Begitu pula hasilnya tidak dapat mencapai target yang telah ditetapkan, maka pimpinan dakwah harus memfokuskan perhatiannya ke arah penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi itu. Dengan demikian penggunaan metode pengecualian pada fase ini akan sangat efektif (Munir dan Wahyu Ilahi, 185-186).